Waktu bersantai-santai sudah habis. Dua pekan Zoya absen dari kuliahnya, hal ini tidak bisa diteruskan, mau tidak mau Zoya harus tetap menjalankan pendidikannya. Saat itu pukul 09:00 Zoya tampak sudah siap dan sedang menyantap sarapan kesukaannya yang dipersiapkan Belvara di atas meja makan. Sereal dan susu cokelat.
"Kamu kuliah jam berapa? pulangnya juga jam berapa?" Belvara mulai membuka pembicaraan mereka.
"Sebentar lagi. Sebenarnya tidak tentu jam pulang kuliahku, biasanya aku banyak mengerjakan tugas dengan teman saat mata kuliah sudah selesai. Aku bisa berangkat dan pulang sendiri Belva." Zoya tersenyum padanya.
Rupanya Zoya mengerti maksud dari pertanyaan Belvara.
Bel apartemen tiba-tiba berbunyi.
"Siapa?" tanya Belvara.
"Entah." Zoya mulai bangkit berdiri.
"Aku saja, kamu habiskan sarapan kamu." Belvara mendahului Zoya dan melangkah menuju kearah pintu.
Terlihat seorang laki-laki yang tidak Belvara kenal sedang berdiri di depan pintu.
"Zoya ada?" tanya Arva bingung.
Zoya yang mengenal suara tersebut pun langsung menoleh ke arah Arva.
"Arva? masuk saja." Zoya bangkit dan mendekat.
Belvara hanya bingung menatap mereka berdua. Arva mulai melangkah masuk kedalam apartemen melewati Belvara yang berdiri kaku di ambang pintu. Terlihat dengan jelas di mata Belvara banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Zoya.Zoya yang sedang sibuk berbincang dengan Arva, dia tidak melanjutkan sarapannya kembali, begitu pula Belvara yang tampak cemburu dengan kehadiran Arva.
Zoya segera meraih ponsel dan tasnya.
"Aku berangkat bareng dia ya?" kata Zoya pada Belvara.
Belvara hanya duduk terdiam menatap sinis Zoya.
"Oh ya, kenalin. Arva, senior aku di kampus, dia orangnya baik banget."
Arva hanya tersenyum malu dengan pujian Zoya dan mulai mengangkat tangannya.
Belvara yang terpaku memandang Zoya berhasil dikejutkan oleh hentakan kaki Zoya yang menekan kakinya. Zoya melirik tangan Arva yang melayang dihadapannya. Dengan malas, Belvara membalas jabatan tersebut.
"Kalau ini Belvara. Dia adalah anak dari kerabat ayahku di Jakarta. Sebenarnya ia tinggal di Bandung." Zoya menjelaskan identitas Belvara pada Arva.
"Arva."
"Belvara."
'Anak teman ayahnya?' tanya Belvara dalam hati.
Tergambar jelas rasa kecewa di wajah Belvara atas perkataan Zoya.
Dengan perasaan kesal, Belvara melepas jabatan tersebut dengan gusar dan pergi meninggalkan keduanya.
Arva mulai merasa aneh dan menatap bingung saat melihat Belvara pergi begitu saja.
"Dia orangnya memang seperti itu, galak. Tapi kalau kamu sudah kenal dekat dengannya, dia sangat baik kok." Zoya menjelaskan pada Arva dengan penuh semangat.
Arva hanya mengiyakan perkataan Zoya.
"Aku berangkat dulu ya Belva." Zoya berteriak.
Tidak ada sahutan yang terdengar di telinga Zoya. Gadis itu tidak terlalu mempedulikan, mungkin Belvara sedang sibuk dengan urusannya. Akhirnya mereka berdua pun pergi meninggalkan apartemen.Di balkon apartemen, Belvara terus bertanya-tanya, apakah sejak Zoya berada di Jogja, gadis itu mulai tertarik dengan laki-laki lain? tidak seharusnya Belvara cemburu atas kehadiran Arva dalam hidup Zoya sebenarnya, karena antara Belvara dan Zoya memang tidak ada ikatan apapun. Tapi, mengapa hati Belvara terasa terbakar saat Zoya dekat dengan Arva? Belvara tampak frustasi dengan kehadiran Arva di kehidupan Zoya, ia marah saat perhatian Zoya terbagi pada orang lain.
"Bagi Zoya, pasti Arva lebih dari sekedar senior." Belvara bergumam sendiri.Sudah sore Zoya belum kembali dari kampusnya. Belvara tampak gelisah menunggu Zoya. Ia tidak memiliki kendaraan untuk mencari Zoya.
Belvara mencoba menghubungi Zoya melalui ponselnya. Tidak ada jawaban. Saat kedua kalinya ingin menghubungi Zoya, bel apartemen sudah terdengar. Belvara tampak bersemangat mendekati pintu dan membukanya.
"Hai." Zoya menyapa Belvara dengan wajah yang ceria.
Rupanya Zoya datang tidak seorang diri, Arva mengantarnya.
"Masuk dulu?" Zoya menawarkan pada Arva.
Arva yang memandang wajah Belvara yang tampak tidak senang, segera menolak ajakan Zoya.
"Aku langsung pulang saja."
"Memang sebaiknya seperti itu." Kata Belvara dengan nada yang samar terdengar.
Zoya dengan spontan langsung menoleh ke arah Belvara yang pergi meninggalkan dirinya dan Arva.
"Yasudah, kamu hati-hati ya." Zoya tersenyum pada Arva dan mulai menutup pintu apartemennya.
Melihat Belvara yang sedang duduk di sofa, segeralah Zoya menghampiri dirinya.
"Kenapa sih kamu bersikap seperti itu pada Arva. Dia orang yang sangat baik Belva." Zoya duduk di samping Belvara.
"Iya, dia sangat baik untukmu. Tidak seperti aku yang tidak baik untukmu." Belvara tidak memandang wajah Zoya.
"Kamu cemburu?" Zoya bertanya dengan nada yang menggoda.
"Tidak."
"Tatap mata aku dan katakan kalau kamu tidak cemburu."
Belvara diam tanpa menanggapi tantangan Zoya.
"Ayo, katakan." Zoya memaksa Belvara.
"Kelakuan kamu seperti anak kecil." Akhirnya Belvara menatap Zoya.
"Anak kecil? yang terlihat anak kecil itu sebenarnya aku atau kamu?" Zoya tampak kesal dengan perkataan Belvara.
Belvara kembali tidak bersuara.
"Tidak sepantasnya kamu cemburu pada Arva. Karena kita memang tidak ada hubungan apapun." Zoya pergi meninggalkan Belvara dan menuju kamarnya. Lagi-lagi Zoya pergi saat sedang bertengkar dengan Belvara.Belvara mencoba masuk kedalam kamar Zoya, pintunya terkunci. Tidak biasanya Zoya mengunci pintu. Semarah apapun Zoya, dia tidak pernah mengunci pintunya.
"Zoya." Panggil Belvara lembut.
Kali ini giliran Zoya yang tidak bicara.
"Zoya, buka pintunya."
Tetap tidak ada jawaban.
"Zoya kamu marah padaku karena nya?" maksud dari pertanyaan Belvara adalah Arva.
"Zo.."
Zoya membuka pintunya dan sekarang berdiri dihadapan Belvara yang memandang dirinya kaku.
"Kenapa sekarang diam?" alis Zoya mulai terangkat.
"Selama ini kamu tidak pernah mengatakan apapun padaku. Jadi diantara kita tidak ada hubungan apapun kan? aku bebas berteman dengan siapapun." Zoya terus berbicara.
Belvara hanya mendengarkan.
"Jika aku berteman dengan perempuan ataupun laki-laki tidak jadi masalah untukmu, iya kan?" tanya Zoya kembali.
Tetap tidak ada kata-kata yang dikeluarkan Belvara.
"Meskipun aku mencintai laki-laki lain...."
Belvara menarik tubuh Zoya dengan sangat kasar.
Mata gadis itu terbuka lebar dan bibirnya berhenti berbicara.
"Ayo katakan lagi."
Zoya yang terkejut dengan hal yang dilakukan Belvara langsung mengurungkan niatnya untuk berbicara kembali.
"Jangan pernah melanjutkan perkataanmu dan mewujudkannya menjadi kenyataan. Karena pada kenyataannya, kamu hanyalah milikku." Belvara memeluk erat tubuh Zoya.
"Belva..." Zoya merintih kesakitan.
Belvara yang menyadari ketidaknyamanan Zoya segera melepaskan pelukannya.
Zoya tersenyum senang menatap Belvara.
"Tolong perjelas lagi perkataanmu." Zoya menantang Belvara.
"Kamu tidak boleh dekat dengan laki-laki manapun, apalagi menjadi miliknya. Karena Zoya hanyalah milikku dan akan selamanya menjadi milikku."
Untuk beberapa saat, mata meraka saling memandang.
"Aku mencintaimu Zoya." Belvara menarik kembali tubuh Zoya, tapi berbeda kali ini, dengan penuh kelembutan dan kemesraan.
"Apa kamu tahu?"
"Tidak." Jawab Belvara.
"Aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu. Jangan pernah menghilang dari hidupku. Tetaplah bersamaku untuk hari ini dan selamanya."
Belvara tidak mengatakan apapun dan tetap menikmati kemesraan mereka.
"Berjanjilah padaku." Pinta Zoya dengan penuh kesedihan.
Belvara menyadari kesedihan Zoya dari suara yang gadis itu keluarkan.
"Kenapa kamu menangis?" Belvara menyeka bulir air mata yang jatuh dari matanya yang indah.
"Berjanjilah Belva, selamanya kamu akan selalu ada untukku." Zoya mengulangi perkataannya.
Belvara sulit mengatakan janji yang Zoya inginkan. Laki-laki itu menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.
"Aku berjanji, untuk saat ini akan selalu ada untukmu. Jangan menangis lagi."
Zoya tersenyum dan bahagia dengan apa yang ia dengar.
Belvara mulai menarik wajah Zoya mendekat ke wajahnya hingga setiap hembusan napas diantara mereka saling mereka rasakan satu sama lain. Perlahan Belvara menyentuh bibir Zoya dengan bibirnya, tidak ada penolakan dari Zoya, terlihat Zoya sangat menikmati ciuman itu. Ciuman diantara mereka pun semakin lama semakin bergairah. Belvara mulai mengangkat tubuh Zoya ke atas tempat tidur dan menindikan tubuhnya. Dan semakin lama satu persatu pakaiannya mulai terlepas hingga berserakan di sudut tempat tidur dan di dasar lantai. Mereka berdua pun akhirnya larut dalam percintaan mereka dan tertidur di ranjang yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regrets of Love
Lãng mạnKamu berhasil menyadarkanku makna cinta yang sesungguhnya. Semua tampak jelas bagaimana caramu menjagaku. Hingga aku mendengar kata yang sudah lama kunanti terucap dari bibirmu. Cinta... Begitulah kedengarannya, sangat manis bukan? Tapi tidak bagik...