"Eh, makanannya abis." ucapku sambil mengintip ke bungkus makanan yang kupegang.
Selagi aku mengintip isi bungkus makanan, Viny masih terlihat takjub dengan cerita ci Elaine. Dia bahkan tidak membuka bungkus makanannya sama sekali.
Aku berinisiatif untuk membuang sampah-sampahku. Aku berdiri dari kasur dan hendak berjalan keluar kamar. Saat aku melewati meja belajar, aku mendengar sesuatu terjatuh, tapi kubiarkan saja dulu.
Saat aku kembali ke kamar, aku merasa ada yang aneh. Aku sudah di ambang pintu tapi aku tidak mendengar suara ciciku atau Viny. Saat aku membuka pintu, di tangan Viny ada sebuah buku yang tidak asing bagiku. Sign!
Aku berlari dan langsung merebut buku itu dari tangan Viny. Terakhir aku melihat tadi Viny belum membuka buku ini.
"Kenapa Ar?" tanya Viny.
Aku tidak menjawabnya. Aku membuka buku ini. Buku ini masih lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan yang masih belum terjawab olehku. Dan lagi, aku tidak ingin Viny membacanya.
"Buku ini kok ada lagi."
"Kan kamu yang jatuhin tadi." sahut Viny.
'1. Kapan cinta yang sesungguhnya datang dan apakah itu sesuatu yang bisa diharapkan?
2. Persahabatan murni, apakah itu mungkin?
3. Apakah menyenangkan orang yang menyukai orang yang kau cintai itu bodoh?'
Aku membaca cepat pertanyaan itu dan menutupnya, lalu menaruhnya ke tumpukan buku paling bawah.
"Kok kamu taruh paling bawah?" tanya Viny lagi.
"Eh.. itu novel horror, endingnya nyesek. Aku takut kamu ketakutan sama baper." ucapku berbohong. Kebetulan Viny tak berani membaca sesuatu yang berbau horror.
"Yaudah deh." Viny baru membuka bungkus makanannya.
Ci Elaine melihatku dan menggelengkan kepalanya.
***
Pagi ini aku melangkahkan kaki dengan malas ke sekolah. Bagaimana tidak, minggu depan sudah dimulai UKK dan aku tidak siap sama sekali.
---
"Selamat pagi. Hari ini saya akan membagikan hasil psikotes dan angket penjurusan. Untuk angket penjurusan, kalian harus memikirkan baik-baik sebelum mengisinya, karena di hasil psikotes ada hasil di jurusan mana kalian seharusnya berada. Jadi, pikirkan baik-baik. Aria, Rio, tolong bagikan." ucap bu Alicia.
Aku dan Rio membagikan berdasarkan nama yang tercantum di amplop. Setelah membagikan amplop, aku dan Rio kembali ke bangku masing-masing.
"Silahkan buka amplopnya." perintah bu Alicia.
Aku tidak langsung membukanya. Aku melihat seluruh teman sekelasku terlebih dahulu. Ada empat ekspresi yang kulihat. Senang, sedih, bingung, tidak berekspresi. Viny dan Gracia terlihat bingung. Michelle, dia tidak berekspresi, Hamidan apa lagi.
Biar kutebak, orang yang senang pasti mereka yang psikotesnya cocok dan di referensikan masuk IPA, sedangkan yang sedih, mereka gagal. Mereka yang bingung pasti tak tahu harus senang atau sedih dengan referensi mereka. Sedangkan yang tak berekspresi, tak perlu kujelaskan.
Dan ini giliranku. Aku membuka amplop dan melihat hasil psikotesku. IPA. Aku tak terlalu senang dengan hasil ini, karena aku sangat malas berhitung. Tapi, kenapa aku masuk IPA? Apakah tak ada referensi yang lebih baik?
"Vin, kamu apa?" tanyaku.
"IPA."
"Gre, kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Sign
FanfictionBiasanya, kisah cinta di kehidupan remaja itu berbentuk segitiga. Tapi bagaimana jika memiliki banyak segi? Harus ada yang dikorbankan, atau mungkin berkorban? Apalagi Friendzone. Friendzone? Sepertinya itu hal biasa, apalagi di SMA!