Last Sign

917 44 31
                                    

A.N:

Berhubung ini adalah chapter terakhir, chapter ini akan lebih panjang daripada chapter-chapter sebelumnya :)

======================================================================================================================================================

Hari-hari kosong, hari dimana tidak ada lagi kegiatan pelajaran di sekolah, hari yang membosankan.

Untung saja ada ci Sofi, dimana aku bisa membantunya untuk bekerja di minimarketnya. Tiap hari aku, Viny, Hamidan dan Gracia bekerja bersama untuk mengisi waktu.

Sebenarnya tidak enak juga, karena tiap hari ci Sofi memberi upah pada kami seusai bekerja. Kalau kami menolaknya, kami tidak akan diperbolehkan lagi untuk bekerja, dan itu artinya kita akan menghadapi kebosanan yang berat.

Dan satu minggu lagi, acara perpisahan akan dimulai.

"Aduh, mau pakai apa ya besok waktu perpisahan." Gracia berpikir saat minimarket sepi.

"Repot amat jadi cewek." sahut Hamidan.

"Ribet gini juga kamu sayang." balas Gracia sambil menaikkan satu alisnya dan melirik ke Hamidan.

Tiap hari aku melihat mereka dan selalu saja aku tertawa melihat tingkah mereka. Mereka sudah tau kalau mereka saling cinta dan mereka sangat akrab. Berbeda denganku dan Viny, kami tidak mesra seperti Hamidan dan Gracia, kami masih sama seperti dulu, dekat tapi sebagai sahabat.

"Besok pakai apa Vin waktu perpisahan?" tanyaku.

"Ya.. paling setelan itu lagi."

Mungkin yang dia maksud adalah setelan mini-dress selututnya yang berwarna krem, dan aku merasa tak sabar melihatnya memakai dress itu lagi.

"Selamat datang!" teriak ci Sofi, dan itu artinya, kembali bekerja.

***

Viny PoV

Minggu depan sudah perpisahan, dan itu artinya, aku harus memberi jawaban pada Aria.

Kuakui, rasanya sakit saat dia akhirnya memutuskan untuk menjaga perasaanku, dan itu karena dia tau kebenarannya tapi bukan karena dia ketahui sendiri. Itulah yang membuatku pusing untuk menjawabnya. Tapi tak bisa kupungkiri juga, aku sangat ingin dia selalu ada di sisiku besok, meski akhirnya kita kuliah di universitas yang berbeda, setidaknya kita di kota yang sama, Jogja.

"Viny, kok ngalamun terus?" tanya mamaku di ambang pintu.

Aku langsung tersadar kalau sejak tadi aku duduk melamun diatas kasur, sambil menghadap ke sebuah benda yang selalu menenangkanku.

"Itu kamu pegang terus, padahal udah karatan." mama duduk di sebelahku.

Benar juga. Sudah sekitar empat tahun aku menyimpan ini, dan kalungnya sudah berkarat sejak lama, itu karena kalung ini kalung murah, kalung magnet berbentuk hati yang bisa dipisah.

"Sayang ma kalau dibuang." aku meremat bagian hati kalung itu.

"Siapa yang bilang kalau itu harus dibuang? Eh, memang sih." mama merebut kalung yang kupegang, kemudian dia pergi keluar kamarku.

Gawat, dia akan membuang kalung itu.

Aku langsung mengejarnya, sampai akhirnya aku mendapati mama di kamarnya.

"Nih, bagus kan?" mama menunjukan kalungku dengan rantai yang baru, rantai perak.

Mama memberikan kalung itu padaku. Rupanya, mama membuang rantai kalung yang berkarat saja, bukan seluruhnya. Aku senang ini terlihat baru, tapi..

Second SignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang