Complaint

417 30 10
                                    

Yak, inilah waktu yang bisa dibilang mendebarkan. Setelah upacara penyambutan tahun ajaran baru, kami bisa melihat daftar kelas. Karena peminat IPA hanya sedikit, mereka langsung masuk ke kelas tanpa melihat papan pengumuman.

Papan pengumuman masih ramai, jadi aku memutuskan untuk menunggu bersama Viny.

"Vin, aku kok takut kita gak satu kelas ya.."

"Ih, jangan gitu. Omongan adalah doa lho." Viny menjawab dengan kepala menghadap kebawah.

Setelah akhirnya cukup sepi, kami langsung menuju papan kedua. Kami mulai dengan IPS satu.

Aku sangat tidak percaya. Viny ada di kelas IPS satu dan namaku tidak tertera disana. Bahkan di kelas itu ada Hamidan dan Michelle.

Sedangkan namaku ada di IPS dua. Bagaimana ya. Bukannya aku tak senang, tapi untuk mencari teman yang 'baru' bukanlah hal yang mudah bagiku. Setidaknya ada Cesen.

"Sabar ya. Kamu sih tadi ngomongnya aneh-aneh."

Aku berjalan bersama Viny ke lantai dua. Langkahku sangat lemah karena aku sama sekali tidak semangat untuk tahun ajaran ini. Sekilas aku berpikir kalau aku masuk IPA saja karena ada Gracia, tapi apa boleh buat.

---

Biasanya aku memilih bangku tengah ke depan, tapi tidak untuk kali ini, aku memilih paling pojok bagian belakang.

Karena ini masih hari pertama, tidak ada pelajaran untuk hari ini. Aku langsung keluar dari kelas setelah menaruh tas.

Tak ada pemandangan jalanan sekarang, karena kelasku berhadapan dengan lapangan dari lantai dua.

Aku bersandar di pagar pembatas. Yang kulihat adalah kumpulan anak-anak baru yang sedang MOPD. Kuperhatikan kali ini mereka tidak diperlakukan dengan kasar. Ya, lebih baik begitu.

"Nyari siapa Medelyne?"

"Gak ada lah, eh, Viny!" aku langsung mengacak-acak rambut Viny yang tiba-tiba muncul di sebelahku.

"Kangen ya? Ngaku deh." godanya. Aku menggeleng dan tersenyum tipis.

Suasana hening sejenak.

"Di kelasku gak ada yang bener-bener aku kenal. Ada pun hanya satu dan itu Cesen, aku agak males ngomong sama dia." keluhku.

"Kamu ini. Hidup jadi anak kelas sebelas aja barusan udah nge-judge gitu. Coba dulu dong." jawabnya.

Aku mengangguk pelan. Pertama aku kehilangan Gracia, sekarang Viny dan Hamidan. Bahkan aku pun turut menyesal tidak satu kelas dengan Michelle.

"Kalian emang gak bisa dipisah ya?" Gracia berjalan kearah kami.

"Apaan sih!?" jawabku bersamaan dengan Viny. Aku memalingkan wajahku kearah lapangan. Gracia tertawa kecil dan bergabung kearah kami.

"Gak cuma lu kok Ar yang belum punya temen. Di kelas IPA pun gue gak tau mau ngomong sama siapa.." ucap Gracia sambil melihat kearah lapangan.

"Ke IPS satu juga males. Gue baru aja liat lewat jendela, Hamidan udah berduaan sama Michelle sambil mantengin laptop." lanjutnya.

"Lu kok bisa suka orang kaya Hamid sih?" tanyaku.

Gracia mengangkat bahunya.

"Apa perlu alasan yang jelas ya buat cinta sama seseorang?" ucapnya.

Deg. Deg. Deg.

Detak jantungku serasa melambat tapi berdetak dengan keras. Pikiranku langsung kacau seketika setelah mendengar ucapan Gracia.

Second SignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang