"E-eh?" Viny langsung duduk dan mengeluarkan ekspresi aneh.
Hamidan dan Gracia juga langsung duduk.
"Maksud lu Ar?" tanya Hamidan yang terlihat cemas.
Aku ikut duduk. Kini kami duduk melingkar, saling berhadapan dan aku di sebelah Viny. Dan seketika suasana hening, raut wajah Viny tiba-tiba berubah.
"Vin, aku kok merasa bersalah ya selama ini, gak pernah ngertiin perasaan kamu yang sebenernya."
"Ar, kamu bicara apa sih, udah deh, jangan bahas yang lain-lain dulu, mikir buat besok senin aja dulu." Viny berbicara sambil mengeluarkan senyum yang dipaksa.
"Vin, aku udah tau semuanya, aku udah sadar. Aku nyari terlalu jauh, tapi ternyata di deket aku sudah ada." aku memegang tangan kiri Viny.
Viny mengerutkan bibirnya, wajahnya merah.
Brm..
Terdengar suara mobil dari luar, kedengarannya mobil mama Viny.
"Semuanya, aku pulang dulu ya." Viny melepas paksa genggaman tanganku dan dengan buru-buru membereskan barang-barangnya.
Tanpa bicara lagi, dia pergi dari rumahku, pulang. Hanya tersisa Hamidan dan Gracia sekarang.
"Ar, lu tau dari siapa?" tanya Gracia.
"Seseorang, tapi gue juga sadar. Gue awalnya gak nyangka ini terjadi, soalnya dulu sempet gue nembak dia dan dia nolak gue. Gue pikir hubungan gue sama Viny cuma bakal sebatas sahabat, gak lebih. Dan makin gue rasain, gue juga ngerasa ada yang beda sama diri gue tiap deket dia, dan akhirnya gue nemuin sebuah kebenaran kalau sebenernya gue dicintai sahabat gue sendiri." aku mengusap wajahku, menyesal karena ini datang terlambat, dimana masa aku dan dia bisa sedekat ini akan berakhir.
Aku menyesali kebodohanku selama ini, dimana dia selalu merawatku saat aku sedang kekurangan, dimana dia selalu menghiburku saat aku mengalami kesusahan, menasehatiku saat aku sedang bermasalah, dan aku baru menyadarinya sekarang kalau dia mencintaiku dengan tulus, bahkan saat aku tanpa sadar sudah membuatnya sakit hati.
Aku juga bingung harus seperti apa. Kalau aku memilih untuk mencintainya, sama saja aku bagaikan menjadikannya sebagai pelarian dari Michelle. Tapi kalau tidak ada respon positif dariku, aku takut hubungan kami menjadi sangat canggung, bahkan bisa menjauh.
"Gue sebenernya mau bilang tentang ini ke lu dari dulu Ar, tapi gak pernah sempet, dan sekarang akhirnya lu tau." Hamidan menepuk pundakku.
Beruntung bagi Hamidan. Setelah aku memberitahunya tentang perasaan Gracia, dia masih memiliki waktu untuk meyakinkan Gracia. Sedangkan aku? Masa sekolah tinggal empat hari. Memang sih, setelah itu masih boleh ke sekolah, tapi untuk apa kalau tak ada kegiatan pembelajaran? Itu membosankan. Jalan satu-satunya adalah ke rumahnya untuk meluruskan ini, tapi aku merasa canggung bahkan takut untuk pergi ke rumahnya.
"Sekarang lu kasih tau kita, mau lu apa, kita sebagai sahabat lu bakal lurusin semuanya." ucap Gracia dengan penuh harapan.
Apa yang kuinginkan sekarang?
***
UN selama empat hari telah selesai, dan selama tiga hari sebelumnya aku tak berkomunikasi dengan Viny sama sekali, dan aku ingin meluruskan semuanya sekarang.
"Vin, bisa ikut aku sebentar gak?"
Saat aku bertanya seperti itu, dia bukan menjawab tapi menundukkan wajahnya.
"Vin, please."
Aku menunggunya beberapa saat, dan akhirnya dia menganggukkan kepalanya.
Aku berniat membawanya ke kantin yang sudah tutup. Disana, aku ingin mengungkapkan banyak hal. Karena kurasa Viny berjalan terlalu lama, aku memegang tangannya, ingin menariknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Sign
FanfictionBiasanya, kisah cinta di kehidupan remaja itu berbentuk segitiga. Tapi bagaimana jika memiliki banyak segi? Harus ada yang dikorbankan, atau mungkin berkorban? Apalagi Friendzone. Friendzone? Sepertinya itu hal biasa, apalagi di SMA!