Confession

378 29 9
                                    

Sejak dari Bali, perasaanku terhadapnya makin bertumbuh, dan aku serasa sudah tidak bisa menahannya. Aku ingin mengungkapkannya, tapi, bagaimana caranya?

"Chell, kira-kira, kamu ada rencana buat dapetin pasangan waktu SMA ini gak?" tanyaku langsung saat istirahat.

"Em.. Entah. Pokoknya, aku cuma mau satu buat selamanya. Aku gak mau sampai punya mantan, jadi, mungkin bukan disini, bukan sekarang."

Hebat. Dia mematok 'harga tinggi' untuk menentukan masa depannya. Maklum juga sih, dia merupakan anak dari keluarga berkelas tinggi, tidak sepertiku.

Ya sudahlah, mungkin lain kali aku akan menanyakan hal yang sama lagi, siapa tau jawabannya berbeda.

***

"Ci, yang namanya cinta sejati itu satu buat selamanya ya?" tanyaku sambil tiduran pada ciciku yang juga tiduran di sebelahku.

"Gak tau juga ya. Bisa jadi cinta sejati itu yang mau nerima kamu apa adanya, ada juga satu buat selamanya. Tapi kalo udah satu untuk selamanya, otomatis yang apa adanya juga masuk, kaya papa sama mama gitu."

Aku masih memikirkan cara untuk meyakinkan Michelle, kalau saja aku yang terbaik untuknya. Masalahnya, disisi lain ada Hamidan yang menyukai Michelle juga. Hh..

Aku akan mencoba membuka buku itu, buku yang kutaruh paling bawah diantara buku lainnya.

'1. Kapan cinta yang seseungguhnya datang dan apakah itu sesuatu yang bisa diharapkan?

2. Persahabatan murni, apakah itu mungkin?

3. Apakah menyenangkan orang yang kau cintai itu bodoh?'

Tiga pertanyaan itu masih ada disitu.

Aku terus membaca baik-baik pertanyaan pertama.

Beg

Aku menutup buku itu dengan kasar, sampai ciciku agak kaget. Aku benar-benar bingung.

***

Hari ini ada pembagian tugas kelompok untuk tugas presentasi pelajaran Ekonomi yang akan di presentasikan minggu depan.

Aku mendapat kelompok Rendy, Natalia, Riskha, dan Cesen. Untunglah aku mendapat kelompok yang bisa diandalkan dalam membuat tugas.

"Lu kenapa keliatan banyak pikiran?" tanya Rendy padaku waktu berkumpul masing-masing kelompok.

Hm, entah kenapa aku bisa mempercayainya untuk menceritakan masalahku.

Aku bercerita padanya tentang perasaanku pada Michelle, dan juga halanganku karena Hamidan.

"Kalo suka ya bilang aja suka. Cinta bukan harus memiliki kan? Kalo niat ya bilang kalo mau jadi pendampingnya seumur hidup, tapi lu harus berkomitmen dan siap ambil resiko, jangan asal bilang siap, semua harus dipikirin. Coba tanya sama diri lu sendiri, sudah pantaskah lu buat dia? Apa cuma dia di hati lu?"

Ucapannya sangat mendalam. Dia membuatku terperangkap dalam pikiranku sendiri.

"Sudah pantaskah aku untuknya? Apa cuma dia di hatiku?"

Dua pertanyaan itu membayang-bayangiku.

"Ah, males bikin sekarang. Gimana kalo besok sabtu aja di café deket mall?" usul Natalia.

Kami langsung mengiyakan, karena kerja kelompok di kelas kurang menyenangkan.

***

"Vin, enaknya.."

Sebentar. Ah, tidak jadi.

"Kenapa?" tanyanya.

"Eh, em, enaknya makan lagi gak ya?" tanyaku langsung.

Second SignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang