Tears

371 33 34
                                    

Brrt

Sore ini, aku mendapat pesan dari nomor yang tidak diketahui. Isinya adalah sebuah lokasi. Dan yang kuketahui dari lokasi tersebut, itu adalah bekas kantor yang sudah tidak dipakai.

Pasti dari Indra.

Aku langsung menelfon Hamidan.

.....

.....

.....

Tiga kali aku menelfonnya, tapi tidak ada jawaban. Apa harus ku telfon Gracia?

.....

.....

.....

Sama.

Ah, mungkin mereka sedang 'kencan'.

Sepertinya aku memang harus menyelesaikan ini sendirian.

Aku bergegas memakai pakaian tebal serba tertutup. Bukan karena diluar dingin, tapi untuk antisipasi kalau ada hal yang tak kuinginkan dan meminimalisir luka.

"Mau kemana? Papa mama belum pulang tapi kamu mau pergi lagi?" cegat ci Sofi di ruang tamu.

Aku tidak menanggapi pertanyaan itu, dan aku terus berjalan, melewatinya.

"Eh, jawab!" ci Sofi memegang pundakku.

"Maaf ci." aku menggoyangkan pundakku dengan agak kasar supaya pegangan ci Sofi lepas.

Brum

Datang sebuah mobil Mini-Cooper. Ci Elaine pulang, tapi disaat yang tidak tepat.

Dia keluar dari mobil dan langsung berlari, memelukku.

"Aaa, penguin sayang!" dia memeluku dengan erat.

Karena pelukannya, bebanku serasa berkurang, tapi aku tetap harus cepat, dan juga, mobil milik ci Elaine masih hidup.

"Ci, pinjem mobil bentar ya!"

Bermodal nekat tanpa memiliki SIM A dan baru belajar mengemudi tiga kali, aku langsung berlari, masuk ke mobil dan pergi.

Semoga Viny belum diapa-apakan.

***

Aku telah sampai di lokasi yang diberikan padaku tadi. Suasananya sepi, dan mencekam.

Kantor ini lumayan besar, dan juga memiliki banyak ruangan, dan sepertinya ini akan membahayakan.

Untunglah aku membawa lampu senter. Bukan lampu senter biasa, tapi lampu senter tactical yang dulu iseng aku beli secara online. Lumayan untuk membela diri.

Kriet..

Kubuka pintu pertama dan kuhidupkan senterku.

"Vin! Viny!" teriakku.

Dak! Dak!

Aku mendengar hentakan kursi. Pintar. Aku langsung mencari asal suara tersebut.

Tapi ada sialnya. Rupanya, ada beberapa pintu yang terkunci dan itu membuatku berputar-putar mencari kuncinya. Tidak harus mencari kunci juga, karena tempat ini banyak jalan memutarnya.

Sekarang posisiku bagaikan tokoh utama di sebuah game horror yang sering kumainkan di laptop Hamidan.

Dak! Dak! Dak!

Suara sudah terdengar sangat dekat, saat aku berhenti di sebuah pintu.

Klek

Terkunci. Sudah kuduga.

Second SignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang