Why

347 30 20
                                    


"Hah... akhirnya.."

"Shinta?!"

Aku terkejut melihat Shinta yang baru masuk sekolah saat istirahat pertama ini.

"Kamu ngapain sampe telat gini?" tanyaku dengan sangat bingung, karena terlambatnya tidak wajar.

"Aku abis nganter adik aku ke dokter tadi pagi.." jawabnya sambil masih mengatur nafas.

Aku merasa lega, karena setidaknya dia punya alasan yang baik, bukan karena kecerobohan.

"Eh, Ar, itu Michelle kenapa? Kok lemes banget?" tanya Shinta langsung.

"Maagnya kambuh, biar dia diem dulu, nanti aja kalo mau ajak bicara." saranku.

"Ya deh, sekalian aku istirahat dulu, masih agak capek ngejar waktu."

Aku teringat pemberian Sisca tadi. Aku mengambilnya, kemudian menarik kursi dari bangku sebelah Shinta dan duduk di sebelahnya.

"Nih, buat ngisi perut." tawarku pada Shinta.

"Thanks." ucapnya sambil mengambil satu wafer.

Shinta makan bagaikan orang belum pernah makan, sangat cepat. Sambil makan, aku bercerita bagaimana Michelle sampai selemas itu.

"Btw, kamu orangnya perhatian banget ya?" tanya Shinta tiba-tiba.

"Gak sih, biasa aja kayanya."

"Gak. Pertama, yang rawat Michelle itu kamu. Dua, kamu ngasih aku snack."

"Astaga, aku kalo sama temen deket emang gitu kali Shin. Biasa aja deh."

Shinta mengeluarkan senyuman yang biasa.

"Terserah deh." aku mengembalikan kursi ke tempatnya.

Aku menghampiri Michelle. Makanannya sudah habis. Kebetulan aku ingin membuang sampah.

"Aku kembaliin ya piringnya?" tanyaku. Dia mengangguk.

"Jangan banyak gerak." ucapku sebelum pergi.

Aku mengambil piring Michelle dan hendak keluar.

"Ya, bye!"

Depan pintu kelasku adalah tangga, dan barusan, sebelum aku keluar kelas, aku melihat Indra melambaikan tangan ke kelas sebelah.

Sepertinya aku butuh koneksi untuk mencari tau siapa dan seperti apa dia, karena perasaanku tidak enak.

---

Setelah kembali dari kantin, aku lihat Shinta sudah dekat dengan Michelle, dan kulihat Michelle tertawa terbahak-bahak.

Kebetulan bel istirahat usai telah berbunyi, semuanya segera kembali ke bangku masing-masing. Aku menghampiri Michelle.

"Udah baikan?" tanyaku.

"Udah, lumayan lah. Bahagia emang obat paling manjur." jawabnya sambil tersenyum lebar. Aku mengangguk dan kembali ke bangkuku.

Mendengar kalimat Michelle barusan, aku seperti merasa gagal, entah kenapa.

***

Sudah dua hari aku menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. Setelah makan, aku pasti ke perpustakaan dan melamun disana, karena perpustakaan sepi, jadi aku puas melamun disana.

Mau bagaimana lagi, Michelle dengan Shinta, Hamidan dengan Gracia, Viny dengan anak itu. Dan sekarang aku sendiri. Terkadang aku memikirkan, apa salahku dengan Viny sampai dia seperti itu padaku, tak seperti biasa.

Second SignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang