8*With Reno

1.4K 94 2
                                    

"Nanti kalo aku telpon. Jemput ya pak" ucap Rena pada seorang laki-laki paruh baya yang dalam sebulan terakhir ini menjadi supir baru nya. Pak Rudi mengangguk seraya tersenyum. "Iya neng".

Ia merupakan orang Sunda asli, tepatnya ia berasal dari Tasikmalaya hingga ia memanggil Rena dengan sebutan Neng. Rena juga sebenarnya enggan jika dipanggil dengan embel-embel non atau semacamnya membuatnya setuju-setuju saja jika Pak Rudi memanggilnya dengan sebutan Neng.

Rena keluar dari dalam mobil, lalu setelahnya ia berjalan menuju lapangan basket. Sesuai dengan janjinya pada Devin saat disekolah tadi, Rena datang ke Lapangan tempat biasa dulu mereka main ketika masih berpacaran.

Rena sebenarnya enggan, tapi ia terpaksa demi ujian praktek bulan depan. Ia tidak mau jika nilai pelajaran olahraganya kecil, ia juga tidak mau jika ia ditertawakan satu angkatan karena tidak bisa bermain basket saat praktek nanti.

Rena duduk dipinggiran lapangan, menyandarkan punggungnya pada kaki kursi panjang yang tersedia disana.

Matahari sore itu terlihat sangat terik, membuat Rena mengibas-ngibaskan tangannya berharap rasa gerah yang ia rasakan hilang seketika.

Lima menit,

Sepuluh menit,

Dua puluh dua menit..

Ia beridiri, lalu menghentakan kakinya kesal karena sudah bosan menunggu Devin yang tak kunjung datang. Ia melirik jam yang melingkar dipergelengan tangannya lalu mendengus.

Jam sudah menunjukan pukul empat lebih dua puluh dua menit. Dan itu artinya ia sudah menunggu Devin selama dua puluh dua menit. Ia ingat, ketika ia sampai dilapangan itu jam menunjukan pukul empat sore. Dan sampai sekarang Devin belum juga terlihat menampakan batang hidungnya.

Tuh orang niat gak sih sebenernya!. Rutuknya dalam hati.

Ia kemudian merogoh saku celananya, dan mengirim pesan pada Devin.

Rena: Dev lo dmn? Jadi gak sih? Gue udah nunggu satu jam! (Padahal baru dua puluh dua menit).

Rena duduk dikursi seraya membenarkan tali sepatunya. Lalu tak berapa lama beralih pada ponsel nya yang bergetar. Ia langsung menggeser tombol hijau pada ponselnya ketika nama Devin tertera dilayar ponselnya.

"Lo dimana sih?Bete gue disini! Panas!" Ucap Rena cepat ketika telpon baru saja tersambung.

"Gue minta maaf gabisa dateng Ren. Ada urusan mendadak. Sumpah deh gak bohong!!" Ada nada khawatir yang terdengar dari suara Devin disana.

"APAA?!! KENAPA GAK NGASIH TAU DARI TADI SIH! TAU GINI GUE GAK BAKAL DATENG KESINI PANAS-PANASAN SENDIRIAN!" Bentak Rena setengah berteriak.

Devin sudah pasti saat ini sedang menjauhkan ponsel dari telinganya karena suara cempreng Rena dalam telpon.

"Gue minta maaf Ren. Gue lupa gak ngabarin lo dulu. Sorry yah. Lo boleh deh ngapain aja setelah kita ketemu nanti. Udah dulu ya gue ada urusan. Dan ini gak bisa ditinggal"

"Tap-"

tutt tutt tutt.

Telponnya terputus. Dan Rena hampir saja membanting ponselnya jika ia tidak bisa mengendalikan emosinya.

Sekarang ia hanya duduk dikursi panjang dengan matahari yang masih setia bersamanya diatas sana. Rasa gerahnya sudah hilang entah kemana berganti dengan rasa kesal yang datang kehati nya.

Ia mengendarkan pandangan, tak ada seorang pun disana. Ia pun berjalan mendekat pada tiang ring basket dan mengambil bola jingga yang tergeletak disana.

I Promise [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang