NYANYI SUNYI LADANG TELO

451 53 84
                                    

Pagi,
Matahari terbit tidak mengingkari kodratnya.
Masih dari timur dengan sinar yang tetap hangat.
Itulah kesetiaan.

Di lorong jalan tanah sempit, hamparan ladang.
Diantara daun-daun telo yang basah,
oleh bola – bola kristal kecil yang manggantung diujung daun itu.
Membiaskan pancaran sinar adiwarna.
Menjadi pelangi yang gemilang.

Dan terjebak di mata Marto Rejo,
Pemilik kaki dekit tanpa alas, yang gapah melangkah.
Menuju sepetak tanah seperempat hektar saja.
Persis di pinggir sebuah dangau,

Tanah ladangnya sudah tercabik – cabik.
Oleh cangkul yang selalu ia panggul pulang bergi.
Itulah "bini" keduanya,
Setelah Sujiem,
yang selalu sibuk membuat tiwul di rumahnya.
Di kampung sana.

Seminggu lalu Marto Rejo panen telo,
Penikmat rente membelinya dengan harga murah,
Karena Marto Rejo sudah berhutang tujuh turunan kepadanya.
Marto Rejo hanya dapat peluh dan hutang yang bertambah menjadi sembilan turunan.

Kini,
Martorejo tetap menanam telo.
Itulah kesetiaan.
Seperti matahari yang aku ceritakan.

Oleh: S.S.Van Beuteles
Galela, 25 Juli 2016

KASAK KUSUK DALAM KELAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang