45. Tantangan Panglima Mongol

1.4K 35 0
                                    

"Dewi Suling agaknya engkau yang menjadi pemimpin di sini. Dengarlah syaratku. Aku tidak menumpas semua pemberontak karena mereka itu tidak tahu apa yang mereka lakukan. Aku hanya ingin menangkap semua pemimpinnya untuk mempertanggung jawabkan pemberontakan mereka di depan pengadilan kaisar. Adapun para anak buah, akan diampuni nyawanya asal suka kembali bekerja, membantu penggalian terusan dan tidak usah khawatir lagi, kini mereka dijamin dan kalau sudah habis waktu kerja, mereka akan dipulangkan ke kampung dan diberi pesangon."

Dewi Suling merasa ragu-ragu untuk menjawab. Ia menyesal sekali mengapa Pendekar Cengeng tidak berada di situ. Kalau ada, tentu pendekar itu mampu mencari jalan keluar, atau setidaknya mengimbangi kelihaian Panglima Ouw Beng Tat ini.

Kalau dia menolak syarat itu, berarti semua pejuang yang berada di situ akan tewas semua! Kalau ia menerima, dia dan banyak teman akan ditangkap. Dia sendiri tidak perduli kalau ia ditangkap atau terbunuh sekalipun, akan tetapi bagaimana dia tega untuk membiarkan Ouwyang Tek, Gui Siong dan dua orang nona kekasih mereka yang sedang menghadapi hidup bahagia memadu kasih itu ditangkap dan dihukum pula?

Selagi Dewi Suling ragu-ragu dan bingung tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dari atas pohon yang berdekatan dengan tempat itu. "Ha-ha-ha! Ouw Beng Tat sungguh tak tahu malu, mengabdi kepada orang Mongol mengkhianati bangsa sendiri!"

Ucapan ini disusul melayangnya tiga bayangan orang dari atas pohon melalui kepala orang-orang dan turun ke depan Ouw Beng Tat. Semua orang memandang dan dua pasang orang yang sedang gelisah itu segera berseru girang, "Suhu......"

"Ha! Bagus sekali. Thian-te Sin-kiam sudah tiba!" Seru Ang Kwi Han atau Ang Kai-ong ketua Ang-kin Kai-pang dengan suara lega. Sejak tadi kakek pengemis ini diam saja dan dia yang merupakan orang kedua dalam pasukan pejuang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi disamping Dewi Suling, tadi diam-diam telah memberi isyarat kepada anak buahnya dan sudah siap-siap mengeroyok Panglima Ouw Beng Tat yang kosen.

Memang, yang datang itu adalah tiga orang kakek yang memiliki gerakan seringan burung. Orang pertama adalah Thian-te Sin-kiam Liem Kwat Ek, kakek atau juga guru dari Liem Siok Lan, seorang tokoh ilmu pedang yang amat terkenal, sejajar dengan nama besar Yu-kiam-sian. Kakek ini usianya sudah tua, rambutnya sudah putih tubuhnya tinggi kurus, akan tetapi sinar mata yang tajam membayangkan kekerasan hati dan kegagahan. Adapun orang kedua adalah Tho-tee-kong Liong Losu, hwesio gendut bertelanjang dada, tenang dan serius, kini memandang kepada kedua orang muridnya dengan alis berkerut, akan tetapi menjadi lega ketika melihat bahwa dua orang muridnya dalam keadaan sehat dan selamat.

Adapun orang ketiga, adalah Siauw-bin-mo Hap Tojin yang usianya juga sudah amat tua, tujuhpuluh tahun lebih akan tetapi sikapnya gembira dan jenaka masih seperti dulu, mukanya makin tua makin kehijauan, matanya makin sipit sehingga hampir terpejam, akan tetapi mulutnya tersenyum-senyum, tangan kiri memegang guci arak yang menghamburkan bau harum, pedang bututnya masih menempel di punggung.

Sebetulnya, sudah agak lama tiga orang sakti ini datang dan melihat ketika pasukan pejuang dikurung oleh barisan besar yang dipimpin sendiri oleh Ouw Beng Tat, mereka bertiga kaget dan khawatir. Mereka cukup maklum akan kelihaian Ouw Beng Tat. Lebih-lebih lagi Thian-te Sin-kiam Liem Kwat Ek yang tidak melihat cucunya di antara para pejuang hatinya amat gelisah. Maka ia lalu melepaskan panah apinya untuk memberi tanda agar kalau cucunya berada di sekitar tempat itu dapat maklum bawa dia telah datang. Dan memang betul panah apinya terlihat oleh Siok Lan, akan tetapi waktu itu Siok Lan berada di tempat yang jauh sehingga tidak dapat cepat-cepat tiba di situ.

Melihat munculnya tiga orang kakek yang dikenalnya dengan baik ini Ouw Beng Tat tertawa lalu menjura dan berkata dengan suara gembira.

"Wah, kalian bertiga kakek kakek tua bangka kiranya masih hidup? Ha-ha-ha sungguh lucu sekali dapat berjumpa dengan kawan-kawan lama dalam keadaan seperti ini. Ha-ha-ha-ha!"

Pendekar CengengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang