17. Penyerbuan ke Istana Air

2.5K 41 2
                                    

Ia tidak pernah mempunyai murid, hanya limabelas tahun yang lalu ketika ia dan Siauw-bin-mo Hap Tojin gagal membela keluarga Yu-kiam-sian dan melihat betapa pendekar sakti Sin-kong-ciang Han In Kong mengambil Yu Lee sebagai murid, maka ia mengambil keputusan buat mencari murid berbakat.

Sebagai seorang pendeta Budha yang menempuh hidup suci, Tho-tee-kong Liong Losu mempunyai perangai yang halus, maka sesuai dengan sifatnya ini ialah murid-murid wanita. Maka ia lalu memilih dua orang anak perempuan sebagai muridnya.

Murid pertama ialah Lauw Ci Sian, seorang anak perempuan yatim piatu berusia delapan tahun. Murid kedua adalah Tan Li Ceng anak perempuan tunggal Tan Kiat pemilik toko obat. Sesuai pula dengan bakat masing-masing, ia memberikan ilmu pedang tunggal untuk Lauw Ci Sian serta siang-kiam (pedang berganda) buat Tan Li Ceng. Selama duabelas tahun ia mendidik kedua orang muridnya itu sehingga mereka memperoleh ilmu silat yang tinggi serta jarang menemui tandingannya di antara orang-orang muda jagoan di jaman itu.

Setelah belajar selama duabelas tahun. Tan Li Ceng yang mempunyai kebiasaan berpakaian seperti pria itu lalu kembali ke An-keng tempat tinggal ayahnya. Oleh sebab itulah di An-keng ia merupakan seorang "pemuda" baru saja terlihat oleh Dewi Suling waktu itu. Dan kebetulan pula malam itu Tho-tee-kong Liong Losu berserta murid pertamanya datang berkunjung serta terus malam itu juga mendatangi rumah Tan Li Ceng.

Kenapa begitu kebetulan? Tidak lain setelah begitu hwesio tua itu tiba An-keng sore tadi lalu pergi ke kuil yang dihuni oleh lima orang nikouw serta mendengar akan sepak terjang Dewi Suling. Maka itu buru-buru hwesio ini bersama muridnya mendatangi rumah muridnya yang kedua untuk nanti diajak bersama-sama mencari serta membasmi Dewi Suling. Tak disangka iblis betina yang dicari-carinya itu justeru berada di rumah Tan Li Ceng yang disangkanya pria!

◄Y►

Sementara itu, dengan hati gemas Dewi Suling cepat-cepat mendayung perahunya pulang ke tempat tinggal gurunya di Istana Air. Ia telah terluka, biarpun tidak berat, akan tetapi buat melawan Tho-tee-kong serta kedua orang muridnya sendirian, ia merasa tidak kuat. Ia harus melaporkan kepada gurunya soal munculnya musuh besar itu. Dan kekecewaan karena ternyata Tan Li Ceng adalah seorang gadis membuat ia kehilangan semangat buat bersenang-senang dan bermain-main di An-keng.

Malam telah berganti fajar ketika Dewi suling naik ke darat dan menarik perahu kecilnya ke darat pula. Ia heran melihat betapa sepinya daerah Istana Air. Akan tetapi baru saja ia lari beberapa meter jauhnya, dari kanan kiri berlompatan keluar penjaga yang bersenjata lengkap, bahkan seorang penjaga membentaknya, "Siapa......!"

"Goblok, buka matamu lebar-lebar! Minta mampus?" Dewi Suling balas membentak dengan perasaan mendongkol.

"Ahhh...... ampun Siocia! Ampunkan hamba...... di dalam gelap ini mana hamba bisa mengenali Siocia? Toanio memerintahkan agar penjagaan diperketat sebab dikhawatirkan datangnya musuh yang akan menolong tawanan. Maka kami melakukan penjagaan ketat sambil bersembunyi."

Lenyap kemarahan Dewi Suling segera ia tertarik sekali. "Tahanan siapakah orangnya? Berani betul masuk ke sini sampai tertawan?"

"Seorang pemuda luar biasa, Siocia. Yang-ce Su-go maupun Ngo-tayhiap (pendekar Ngo Cun Sam) tak bisa mengalahkannya. Baru Setelah Toanio sendiri turun tangan, dia bisa ditawan di ruangan berlatih silat."

"Pemuda? Siapa......?" Dewi Suling bertanya heran. Kalau sampai pemuda itu harus dikalahkan gurunya di dalam lian-bu-thia ( Ruangan silat), berarti gurunya tak kuat melawan dan perlu dengan bantuan alat-alat rahasia di lian-bu-thia. Alangkah hebatnya kepandaian pemuda itu!

"Entahlah, Siocia. Hamba tidak tahu namanya. Hanya mendengar bahwa dia itu masih muda dan amat tampan serta pakaiannya serba putih. Ha-ha agaknya hamba kira dia telah mampus karena tadi menurut kawan-kawan Yang-ce Su-go keluar dari ruangan itu dengan penuh keringat, bahkan Song-twako sampai terlepas sambungan lututnya. Tentu mereka itu berempat melampiaskan kemarahan karena kekalahan yang memalukan di depan Toanio."

Pendekar CengengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang