32. Dua Pasang Sejoli Pemimpin Pasukan

2.1K 46 0
                                    

Di dalam hutan kecil itu mereka berdua duduk di bawah pohon besar, menanggalkan topi dan mengebut-ngebut leher mengeringkan keringat. Dua orang gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak mereka memasuki hutan, banyak pasang mata mengikuti gerak gerik mereka mata yang memandang penuh gairah ke arah Ci Sian. Pada saat itu, Ci Sian dan Li Ceng saling pandang penuh keheranan ketika tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Suara orang laki-laki yang nyaring dan besar, bernyanyi dengan kata-kata yang terdengar jelas dan agaknya tidak jauh dari tempat mereka beristirahat.

Hanya Tuhan yang memilih Raja
untuk memilih memimpin manusia.
Seorang gagah akan setia selalu
kepada Raja tanpa memandang bulu

Mendengar nyanyian seperti itu, kakak beradik seperguruan ini saling pandang dengan kening berkerut. Sebagai murid-murid seorang bekas pejuang seperti Tho-tee-kong, tentu saja mereka sama sekali tidak dapat menyetujui pendapat yang dikemukakan dalam nyanyian itu. Pada waktu itu, tanah air dijajah oleh bangsa Mongol, kerajaan bangsa sendiri dihancurkan dan yang masih ada disudutkan oleh pengaruh bangsa penjajah sehingga makin suram.

Kalau semua orang gagah berpendirian seperti penyanyi itu maka tentu tidak akan ada perlawanan terhadap penjajah, dan hanya mengelus dada menganggap bahwa raja penjajah itu adalah pilihan "Tuhan"! Sungguh merupakan nyanyian yang bagi dua orang dara perkasa itu dianggap nyanyian yang amat rendah dan juga berbahaya! Dengan sigapnya mereka lalu melompat bangun, lalu melangkah ke arah terdengarnya suara nyanyian.

Tampaklah kini oleh mereka si penyanyi. Seorang laki-laki berasia empatpuluh tahunan, berpakaian sebagai panglima atau perwira pengawal pemerintah kerajaan Goan, pakaian kebesaran yang terlindung sisik baja, pakaian perang yang mewah dan indah. Topi perwira ini dihias bulu indah pula.

Melihat ini, Tan Li Ceng menjadi gemas dan tanpa dapat dicegah lagi ia lalu berpantun suara dibesarkan seperti suara pria,

"Seekor anjing yang diberi tulang
akan menggoyang ekor menjilat tangan
tanpa memperdulikan siapa pemberinya.
Seorang gagah mempunya pendirian mulia
lebih baik mati dari pada menjadi pengkhianat bangsa!
Mengabdi raja penjajah menindas rakyat
lebih hina dari pada anjing laknat"

Laki-laki tinggi besar yang berpakaian perwira pengawal itu menjadi merah mukanya, matanya yang besar melotot ke arah Li Ceng dan terdengar membentak keras.

"Serbu dan tangkap pemberontak!"

Li Ceng dan Ci Sian menggerakkan tangan dan mereka sudah mencabut pedang masing-masing Li Ceng mencabut siang-kiam (pedang sepasang) dan menyilangkan kedua pedang itu di depan dada, sedangkan Ci San mencabut pedang panjang yang dilonjorkan di depan mukanya. Dua orang ini tidak tampak gentar, pada saat itu dari balik pohon-pohon dan semak belukar bermunculan banyak sekali orang, yaitu pasukan penjaga yang bertugas menjaga di wilayah itu.

Tidak kurang dari tigapuluh orang perajurit mengepung dua orang gadis itu, dikepalai oleh laki-laki yang bernyanyi tadi, yang kini tersenyum-senyum memandang kepada Ci Sian, pandang matanya liar dan seperti hendak menelanjangi pakaian gadis itu.

"Nona yang cantik dan muda, sungguh sayang sekali kalian sampai ikut terbasmi dengan gerombolan pemberontak lain yang kami kejar-kejar. Lebih baik engkau menyerah dan menakluk, nona, dan aku Twi-sin-to (si Golok Besar Sakti) Kui Mo Yo yang menjamin bahwa engkau akan diampuni dan memperoleh kedudukan mulia. Kawanmu si mulut lancang inipun kalau engkau yang mintakan ampun, tidak akan kami bunuh asal dia mau membantu pekerjaan di saluran......"

"Anjing, pengkhianat bangsa, tak usah banyak cerewet!" Li Ceng memaki dan ia sudah menerjang maju, memutar sepasang pedangnya. Terdengar teriakan kesakitan dan dua orang pengepung yang paling dekat dengannya telah roboh mandi darah.

Pendekar CengengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang