FA - 1

1.8K 128 54
                                    

Emma bergegas lari menaiki tangga rumah besarnya ketika mendengar Lynn menangis. Masih dengan celemek kebesarannya dan tangan yang basah selesai mencuci piring di dapur. Memang sengaja Emma tak memilih jasa baby sitter untuk merawat Lynn. Bagi Emma, Lynn adalah harta yang sangat tinggi nilainya. Ia berkembang menyatu dalam tubuhnya, maka Lynn adalah separuh dari hidupnya.

Hanya saja, saat setelah kehadiran Lynn membuat Emma harus menyewa tenaga kebersihan untuk membantunya merapikan rumah yang terlalu besar. Awalnya Emma sudah protes karena Marc memilih rumah ini untuk mereka.

"Kita hanya akan tinggal bertiga, Darl. Rumah sebesar ini terlalu mewah."

"Kita akan punya banyak anak, dan kemudian memiliki menantu, lalu cucu-cucu. Nanti rumah ini akan sesak, Darl."

"Tapi ... "

"Please, aku jatuh cinta pada rumah ini. Lagi pula aku sudah memiliki banyak mimpi dengan rumah ini saat pertama melihatnya."

"Terserah kau sajalah."

Emma menyetujuinya meski terpaksa. Bukankah itu pemborosan?

Lynn berhenti menangis saat Emma menggendong dan menyusuinya. Mulut kecilnya asik sarapan dengan nipple kesayangan. Emma tersenyum bahagia menatap Lynn yang kini mulai terpejam.

Beberapa bulan setelah kelahiran Lynn, Emma dan Marc merasakan perubahan besar dalam hidup mereka.

Bergiliran mengganti popok, memandikan, sampai menina bobokan Lynn adalah rutinitas harian. Tak jarang Emma harus begadang demi menemani dan menenangkan Lynn saat menangis.

Melelahkan, namun hati Emma berbunga.

"Ada apa, Mom?" Marc muncul dari ambang pintu kamar. Melihat Emma dan Lynn yang sedang asik, Marc duduk di sebelahnya.

"Baiklah ... baiklah. Kau merebut jatah susu daddy rupanya sayang, Hmmmm." Dengan gemas Marc mengelus pipi tembab Lynn. Seketika mata Lynn melebar.

"Ya ampun, Dad. Kau membuatnya bangun lagi. Pekerjaan rumah masih belum selesai."

"Aku lebih 'bangun', sayang. Sudah hampir empat bulan aku menderita." Marc memberengut sambil mengelus tonjolan di pangkal pahanya.

Emma menahan senyum. Melihat suaminya yang tersiksa seperti ini membuat Emma ingin tertawa. Mau bagaimana lagi, Emma masih ngeri mencoba melayani suaminya setelah melahirkan.

"Satu bulan lagi. Doaķan aku siap. Oke, Dad?"

"2 minggu, Mom."

"3 minggu. Oke?"

Marc merebahkan kepalanya pada bahu Emma. Frustasi berkepanjangan karena 'jatah' nya belum terpenuhi.

"Mengalah lagi. Huh, baiklah. Kau masak apa? Aku lapar."

"Kesukaanmu. Sup daging. Kalau begitu gendong Lynn, aku akan siapkan sarapanmu."

Tangan kokoh Marc sigap menerima Lynn dalam timangannya lalu mengekor mengikuti Emma menuju dapur.

Marc menimang Lynn dengan nada lagu kacau. Emma bersumpah, bahwa suara Marc saat menyanyi terdengar sebagai gemuruh sebelum hujan lebat.

"Makanan sudah siap!" seru Emma lantang. Emma membawa sebuah panci hidang sedang yang berisi sup potongan daging sapi dan tulangnya serta potongan sayur.

"Biar kugendong, kau makan dulu," katanya saat Marc datang ke ruang makan bersama Lynn.

"Tidak usah. Aku bisa makan dengan tanganmu. Ayo suapi aku."

Pipi Emma merona selepas Marc mengatakan hal itu.

"Kau sudah jadi istriku, jadi ibu dari anakku. Tapi tetap saja merona tersipu saat kurayu."

Justru itulah yang begitu sering dirindukan Marc saat sedang bertugas ke luar kota atau luar negeri mengurus pekerjaannya.

"Buka mulutmu." Marc menuruti perintah Emma sambil tersenyum senang.

Tiba-tiba, sesuatu yang basah, hangat dan sedikit mengejutkan lolos mengalir menembus celana olah raganya.

"Mom, kau lupa memakaikan diapers untuk Lynn?"

"Tidak. Aku memakaikannya popok kain. Kenapa?"

"Oh God. Untung kau anakku. Dia pipis, Mom."

Wajah Emma memerah menahan tawa yang siap meledak. Akhirnya meledak juga saat melihat ekspresi konyol Marc.

"Itu tandanya dia nyaman bersamamu, Darl."

"Benarkah? Ya sudah, biarkan aku yang mengganti popoknya."

"Biar aku saja. Kau lanjutkan makanmu."

Sekali lagi Marc menolak. Ia bersikeras untuk sedikit meringankan beban istrinya. Marc tahu betul semalam Emma tak tidur hanya karena Lynn menangis dan ingin digendong.

"Mom, di mana kau menaruh diapersnya?" Teriak Marc dari atas.

"Pakai popok kain saja. Lynn akan iritasi jika memakai diapers," balas Emma yang juga berteriak agar terdengar suaminya.

"Mom, kemarilah!"

Emma menggelengkan kepalanya. Nyatanya suaminya itu tidak bisa mengatasi penggantian popok Lynn.

"Bagaimana memakaikannya? Kenapa tidak diapers saja? Kan lebih praktis."

Beberapa lembar popok kain tersampir di bahu Marc.
Alih-alih mengganti popok anaknya, Marc malah mengacaukan lemari tempat popok Lynn.

"Pasang kain ini di dalam popok, lalu kancingkan yang rapi. Paham, Dad?"

Marc menggaruk kulit kepalanya, tapi sedetik kemudian dia mengernyit.

"Oh Tuhan, tanganku kan bekas pipis Lynn." Marc mengendus tangannya yang memang berbau pesing. Sementara Emma tertawa geli melihat mimik muka suaminya.

***

"Aku akan pulang sedikit terlambat. Kau bisa mengunci pintunya dan tidur lebih dulu." Emma menunduk saat Marc mendaratkan bibirnya pada kening Emma sebelum masuk mobil.

Perusahaan otomotif yang di jalaninya sejak ia memutuskan pensiun dari dunia balap mulai berkembang pesat. Emma ada dibalik semua kesuksesannya. Wanita itu berada di titik paling bawah, menemaninya dan mendukung setiap cara kerja Marc yang bisa dibilang gila. Istrinya itu memiliki kemampuan akuntansi yang luar biasa hingga sampai sekarang perusahaan itu makin berjaya.

Emmalah yang mendampinginya saat merintis, hingga perusahaan itu membesar dan Marc menikahi Emma. Bukan karena apa pun, tapi Marc yakin bahwa sebagian besar jiwanya adalah milik gadis Inggris pintar itu.

"Kau harus cari rekan yang jujur, Darl. Aku tak ingin melihatmu terlalu keras bekerja sampai pulang larut."

"Aku memilikimu. Cukup dukung dan berikan cintamu."
Lagi-lagi Emma tersenyum merona. Marc mencium bibirnya sekilas lalu pergi dengan mobilnya.

***

Segini aja dulu ya kawan.

Idenya masih blom terangkai dengan tepat. Takut terlalu absurd kalo diterusin.

Komen ye ganks..

Gracias !!!

FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang