Wohoooo...
Sebelumnya ane mo ngucapin SELAMAT ATAS KEBERHASILAN Pol Espargaro meĺamar pacarnya yang authir lupa siapa namanya hahaha Carlota sapa gitu deh.
Semoga sampai ke jenjang pernikahan kayak Marc dan Emma yaaaa...***
Dalam remang Emma terjaga dari tidurnya. Ralat, wanita itu tidak tidur semalaman hingga subuh menjelang. Lampu jalanan masih belum padam. Kucing liar masih mengeong di sisa gulita tadi malam.
Lynn menangis disela hening yang tercipta antara ibu dan ayahnya. Emma segera menghampiri boxnya dan mengambil Lynn. Menimangnya, memberikan air susu yang terbaik hanya agar Lynn melanjutkan tidur lelapnya.
"Ayo sayang." Ini kali pertama Lynn menolak sumber yang menjadi pengikat batin mereka. Lynn tetap menangis. Menelengkan kepala dan tangisnya semakin kencang.
Badan Emma bergerak menimangnya lebih telaten."Kenapa tidak mau menyusu? Ayo sayang." Bersikeras Emma membujuk anaknya untuk tidak menangis lagi. Tidak biasanya Lynn menangis saat malam seperti ini. Masa-masa begadangnya berakhir saat Lynn menginjak umur tiga bulan.
"Haahhh, berisik." ucap Marc kemudian. Tidak keras, tidak pelan juga. Lelaki itu terganggu karena suara tangisan Lynn yang semakin kencang.
Dengan bantal ia menutup telinganya.
Melihat hal itu hati Emma berdesir perih tak menyangka Marc akan sarkas seperti itu.
Perasaannya ingin berkata bahwa yang terjadi saat ini adalah Marc sedang mabuk. Apapun bisa berubah dari seorang yang tengah mabuk, bukan?"Mom di sini, nak."
Emma memutuskan membawa Lynn keluar dari kamar, turun ke ruang tamu dengan membawa selimut untuk Lynn. Mungkin ia bisa menidurkan Lynn di matras yang biasa digunakan Marc ketika bersantai.
Dan Marc tidak akan terganggu lagi.***
Berulang kali Marc berusaha memejamkan matanya yang perih. Meredakan usikan batin untuk kembali pada Judith, wanita yang belakangan ini selalu muncul di hidupnya.
Katakan ia mencintai Emma. Marc hanya mencintai Emma. Istri yang akan dipilihnya hingga akhir usianya. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Judith adalah penguasa hatinya. Cinta pertama yang tak bisa dilupakan oleh Marc.
Marc memukul kepala memcoba mengusir wajah Judith yang bersarang nyaman di otaknya. Ia merasa menjadi pengkhianat--paling jahat-- yang mencintai wanita lain saat ia memiliki sebuah keluarga kecil yang penuh dengan cinta.
Cinta? Hah? Bahkan sekarang dia mulai mengikis pelan cinta yang diberikan utuh untuk Emma.
"Ya Tuhan," bisik Marc di sela gundah hatinya.
Ia teringat akan pertemuannya dengan Judith sore tadi ketika sepulang kantor. Judith dengan beberapa temannya yang berprofesi sebagai model sedang berada di bar favorit kawasan Lleida.
Judith di sana, sedang diam tanpa meladeni obrolan teman-temannya yang entah hal apa yang mereka bicarakan. Wanita itu tetap melamun meski kadang hanya menanggapi obrolan dengan senyum palsu. Sangat palsu. Marc bahkan mengenal Ju lebih dari mengenal dirinya sendiri. Bodoh bukan?
Demi apapun Marc tak ingin Ju melihatnya di sini. Tidak di tempat yang penuh huru hara para penikmat dunia dan haus sentuhan. Marc bukan lelaki seperti itu. Tentu Marc tidak haus sentuhan. Bukan pula penikmat dunia. Hanya saja ia merasa hatinya mulai terbagi. Ingin menyangkali namun hanya omong kosong yang terjadi.
Baiklah, satu dua teguk Martell akan membakar tenggorokan untuk sesaat. Nyatanya, hanya cukup satu sloki Martell bisa membuatnya lebih sinting. Menyesal telah memilih bar ini untuk melepas penat. Dalam ketidaksadarannya, Marc berujar waras. HARUSNYA DIA LANGSUNG PULANG KE RUMAH DAN MEMELUK EMMA.
Begitulah, ketika sebuah sentuhan seorang lelaki pada bahu mulus milik Ju membangkitkan api dalam keangkuhannya. Marc bangkit maju mencengkeram leher lelaki itu dan membantingnya di lantai bar.
Yang terjadi tentu saja membuat Ju membelalak melihat lelaki yang baru saja ada dipikirannya sedang terkapar mabuk karena tak kuat menahan tubuhnya. Marc Marquez.
"Harusnya aku tidak di sana. Tidak di sana." isak Marc dalam penyesalannya.
Ju membawanya keluar dan masuk ke dalam mobil biru metalik milik Marc. Baru saja akan memakaikan sabuk pengaman untuk Marc, lelaki itu menarik lehernya kuat-kuat. Marc melakukan pendaratan mulus pada bibir ranumnya. Menghisap, mengulum dan masuk lebih dalam saat Ju meronta.
Tidak. Ju tahu diri. Bahwa lelaki ini--meski masih mencintainya-- tidak seharusnya seperti ini.
Plak
Tamparan keras dari Ju akhirnya membuat Marc tersadar. Iris matanya menggelap, namun teduh. Nafsu telah menyelimuti kabut hatinya.
"Apa yang kau lakukan, Marc?"
Ju membentak."Menurutmu?"
Hanya tatapan kesal yang Ju lemparkan pada Marc. Mengingat perlakuan ciuman lembut dan menuntut dari Marc. Ju masih ingin menghormati dirinya sendiri, tentunya.
"Barbara, bisa tolong kau antar temanku ke rumahnya? Aku tidak mungkin mengantarnya karena aku bawa mobil sendiri. Bisakah?" Barbara melihat lelaki yang berada di samping Ju.
"Baiklah. Tampan sekali. Mungkin aku bisa mencicipinya selagi dia tidak sadar." Perkataan Barbara langsung mendapat hadiah tatapan membunuh dari Ju.
"Jangan sentuh dia. Awas saja kau." Barbara mencebik berpura-pura takut dengan ancaman Ju.
"Bilang pada siapapun yang berada dirumahnya bahwa kau menolongnya di bar. Jangan katakan apapun tentang aku. Kau mengerti?"
"Oh, jadi kau selingkuhan atau istri keduanya? Ah, drama sekali." Barbara menyahut kunci mobil di tangan Ju. Menghiraukan geraman halus sahabatnya itu.
***
"Emma? Kau sudah bangun?" sergah Alex saat mendapati kakak iparnya meringkuk di matras bersama Lynn. Rambut coklatnya diikat asal-asalan dan membiarkan beberapa helainya tergerai.
"Ehm, aku tidak tidur. Lynn menangis semalam. Dan Marc merasa terganggu."
"Apa? Tidak biasanya dia terganggu. Bukankah dia selalu merindukan tangisan Lynn?"
Emma memgangkat bahu. Jangankan Alex, Emma saja mulai menyadari perubahan suaminya.
"Sepertinya aku harus pergi nanti sore ke Inggris. Ibuku sakit."
"Baiklah. Nanti kuantar ke bandara. Kau sudah memberitahu Marc?"
Emma menggeleng lalu menciumi harum tubuh Lynn di sampingnya.
"Belum. Nanti akan kucoba bicara."
Alex tersenyum tipis melihat wajah Emma yang sedikit pucat. Kantung matanya menghitam lelah, hebatnya ia tak pernah mengeluh sedikitpun. Jika boleh ia membalik semua keadaan, Alex tak ingin menjadi sahabat Emma. Justru ia ingin mencintai Emma apa adanya. Membahagiakan hidupnya dan mengukir senyum di wajah cantik itu.
Seandainya Emma tak berpendapat bahwa Sahabat adalah harga mati, mungkin dengan lancang ia akan merebutnya dari Marc. Saat ini juga.
"Istirahatlah dulu selagi Lynn masih tidur. Wajahmu pucat sekali, Em."
"Tak apa. Biar kubuatkan sarapan dulu."
"Emma,"
"Sungguh, im okay."
Mengalah. Alex menghembuskan nafasnya dan membiarkan wanita itu berlalu dengan segala hal yang bisa menghibur batinnya.
Emma sedang merintih, bukan raganya-- tapi hatinya.Bagaimana mungkin seorang istri akan tenang jika semalam suami yang dicintainya, yang dikhawatirkannya, tiba-tiba pulang saat pagi hampir tiba-- dengan seorang jalang dalam keadaan mabuk? Hanya wanita gila yang akan membiarkan semua itu terjadi.
Kelopak mata Emma kian berat. Tidak mengantuk. Hanya ingin mengunci dirinya di kamar lalu menangis sekeras-kerasnya. Marc tak pernah membentak ataupun berucap pedas selama ini meski ia sedang mabuk.
Tapi malam tadi, Emma tahu ada yang tidak beres dengan perubahan suaminya.***
Maafkan typonya yaaaa. Nikmati saja hehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
FanfictionCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...