FA- 33

529 60 10
                                    

Beberapa jam yang lalu Emma berdiam diri di kamar Lynn setelah memastikan gadis kecilnya pulas. Tom tidak datang hingga malam menjelang membuat Lynn terus merengek dan menangis sepanjang sore. Padahal Emma sudah berkali-kali menghubungi Tom yang selalu berakhir di mail box.

Rasa khawatirnya bertambah ketika ia menelpon Ibu Tom bahwa Tom belum juga pulang. Dadanya turun seiring melepas helaan nafasnya.

Emma sudah memutuskan menerima lamaran Tom dan akan pergi ke Cervera untuk menemui keluarga Marquez berharap surat cerai yang ia layangkan berada di sana. Siap menerima konsekuensi yang akan diterimanya dari Mom Roser atau Daddy Julia. Ataupun Alex dan seluruh pegawai dan pembantunya.

Tidakkah adil bahwa Emma juga menginginkan kebahagiaan? Dan ternyata ia menumpukan kebahagiaan pada sandaran Tom Felton.

Ting... ting... ting

Emma terbangun dari lamunan menyadari bel pintunya berbunyi. Ia turun dengan cepat dan segera membuka pintu depan rumah.

"Tom!" Pekik Emma senang.

"Hai. Terimalah." Emma tersipu ketika sekotak besar cokelat berada di tangan Tom.

"aku berkali-kali menelponmu. Kau kemana saja?"

"Sedang sibuk. Maaf ya telpon memang kumatikan. Juga tidak sempat mengirim pesan. Pasti Lynn marah padaku."

Emma mengangguk cepat.

"Dia menangis sepanjang sore dan baru tidur pukul delapan malam tadi."

"Akan kuganti besok malam. Ijinkan Lynn pergi bersamaku. Besok aku harus datang ke acara ulang tahun temanku."

"Baiklah. Tapi tidak sampai larut malam kan?"
Tom mengangguk setuju. Dengan santai ia duduk di sofa ruang tamu seperti tidak terjadi apapun. Padahal jika Emma tahu, hatinya sedang kalut menentukan keputusan apa yang akan ia ambil.

"Tom," kepala pirang itu menoleh.

"Hmmm?"

"Aku sebenarnya sudah memutuskan untuk pergi ke rumah mertuaku."

"Untuk?"

"Mungkin saja surat cerai yang kukirimkan dulu berada di sana."

"Kau akan memaksa suamimu menandatanganinya?" Ekspresi Tom tetap sama, datar. Tidak responsif seperti biasanya.

"Kurasa, Ya."

"Emma, jika kau merasa tidak yakin atau ragu aku tidak akan pernah memaksamu. Masalahnya, kita tidak tahu yang akan terjadi. Bagaimana jika tiba-tiba suamimu menolak menceraikanmu?"

Emma menunduk dan memainkan kedua ibu jarinya.

"Terlebih lagi... bagaimana jika... suamimu masih mencintaimu?"

"Maaf. Jika aku terlalu terobsesi padamu."
Emma merasa bahwa Tom memang telah berubah. Apa yang diucapkannya, Tom hanya menganggapnya obsesi.

"Tidak. Sungguh aku tidak berpikir kau terobsesi padaku. Hanya saja lihat dalam hatimu, apa kau memang mencintai aku atau masih adakah bayangan suamimu di sana. Sama seperti wanita, pria juga tak ingin berbagi tempat spesial."

"Aku paham. Kau benar, Mungkin aku belum mencintaimu sebesar yang pernah kurasakan. Pintu yang tidak pernah tertutup ini sengaja kututup untuk segala kenangan masa lalu yang pahit. Aku membuka sebelahnya, meski belum sempurna tapi aku mencoba untuk membuatnya paling indah dari yang terindah."

Tom menyandar di sofa. Dengan kemeja yang sudah tidak rapi lagi dan penampilan kusutnya, Tom lebih terlihat sebagai orang frustasi parah.

"Aku berniat kembali membuka lembaran putih yang kosong untuk mengisi kenangan-kenangan yang akan kita buat bersama. Tapi jika kau... emmm baiklah."

FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang