Alex memandang Emma dengan sorot mata bersalahnya sambil sesekali membuang pandangannya ke kolam ikan koi. Bibirnya ingin bicara namun tidak dengan hatinya. Kenyataan yang harus diterima Emma akan lebih menyakitkan daripada ia akan terus menerus hidup dengan kegelisahan tanpa penjelasan. Bagaimanapun ia juga bersalah karena justru menghindar saat Emma terombang-ambing dengan kehidupan rumah tangganya.
"Lex? Katakan apapun."
Tangan lembut Emma menyentuh punggung kokoh Alex. Menyadarkan lelaki itu dari kegelisahan. Alex tahu hari dimana Emma akan datang dan meminta kejujuran padanya. Namun sekeras apapun Alex mempersiapkan jawaban yang tepat, tetap saja tak satupun kalimat mampu meluncur di hadapan Emma. Ia tak ingin melihat sahabatnya lebih hancur lagi.
"Kau tahu semuanya, Lex. Jadi kumohon katakan!"
Kali ini mata tajam Emma menusuk tepat di mata cokelat madu Alex. Wanita terpintar di kampus dan paling galak, tidak mudah dibodohi apalagi di permainkan. Namun kali ini Alex justru merasa sebagai salah satu lakon dalam permainan ini.
"Aku tidak bisa. Maaf."
Alih-alih kecewa dengan jawaban Alex, Emma tersenyum getir.
"Aku tahu kau akan menjawab begitu. Dasar pria kejam. Tak bisakah kau sedikit saja membantuku? Bukan sebagai kakak iparmu, tapi sahabatmu. Kenapa kau selalu melakukan ini padaku?" Barulah air mata Emma menitik yang lama-lama menderas.
"Em..."
"Jangan katakan apapun, bodoh. Aku merasa sangat sendiri sekarang. Kenapa kau tak bisa sedikit saja melihatku bersedih? Kenapa kau selalu ada untukku saat aku bahkan tak pernah tahu kehidupanmu, masalahmu, apalagi?"
"Pacarku."
Emma tertawa pendek di sela tangisnya.
Jika ada satu hal yang sangat di syukuri Emma saat ini adalah nemiliki sahabat sekaligus adik ipar seperti Alex. Alex tak hanya melindunginya, ia tahu semua seluk beluk Emma dan akan bersedih jika Emma bersedih.
"Maafkan aku. Aku telah membawa Marc ke dalam hidupmu."
"Aku mencintainya, Lex. Tak ada yang salah saat ini. Setidaknya sebelum aku menemukan jawaban dari semua masalah ini." Emma menepuk pelan punggung Alex beberapa kali lalu tersenyum.
"Semoga semua berjalan baik, Emma." Emma mengacungkan bukan hanya satu ibu jari, namun dua.
Saat Emma berbalik menjauh meninggalkan Alex, lelaki itu merasa amat sangat bersalah.
***
"Marc, kau yakin tidak mau mampir?" Marc menggeleng menolak ajakan Tom setelah sampai di depan apartemen.
"Lain kali saja, aku akan menghabiskan hari sabtuku bersama anak istriku." Tom yang mendengar hal itu tersenyum. Perubahan yang dia lihat dari Marc sungguh luar biasa. Jelas pria itu telah bersusah payah memperbaiki hubungan rumah tangganya yang hampir retak.
"Aku jadi ingin menikah jika melihatmu seperti ini."
"Segera cari yang tepat untukmu. Jangan terlalu lama sendiri. Nanti Tom juniormu akan melemas tanpa ada tandingannya." Canda Marc membuat keduanya tergelak.
"Aku belum menemukannya."
"Tom, kau tidak akan menemukan wanita yang sempurna."
"Aku tidak mencari dia yang sempurna, Marc. Aku mencarinya yang telah dulu merampas seluruh hatiku. Entahlah."
"Ooo masa lalu?"
"Like that."
"Aku jadi teringat Judith."
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
Fiksi PenggemarCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...