Bohong jika aku tak memerlukan sandaran disaat-saat sulit seperti sekarang ini. Aku butuh! Hanya aku tak tahu siapa lagi orang yang bisa kupercaya menyimpan semua kesahku selain Marc. Mungkin juga Alex. Akan tetapi pasti terdengar aneh jika aku harus bercerita pada Alex mengingat bahwa dia adalan klan Marquez yang lahir dari jalan yang sama dengan suamiku.
Ya, suami yang telah merobek seluruh kepercayaanku. Yang telah mencabik-cabik pondasi kekuatanku.
Sekarang, ketika aku berada dalam bus yang entah akan membawaku kemana, aku justru ingin sekali menangis sejadi-jadinya. Aku tak lagi punya seorang ibu dan merasa sanfat durhaka padanya sekarang ini. Namun aku memiliki Kristen, adikku satu-satunya yang masih berkabung di London. Mustahil pula aku harus bercerita padanya.
Bus berhenti di halte kota Barcelona. Sepertinya aku cukup jauh meninggalkan Lleida untuk menyegarkan otakku. Kuambil ponsel dan mengecek pemberitahuan yang terlewat selama aku sibuk dengan pikiran sendiri.
Ada sepuluh panggilan tak terjawab dan satu pesan dari nomor asing dan dua diantaranya dari Kristen.
Nomor asing itu milik Tom Felton, kawan lama yang baru saja kujumpai di kedai siang tadi. Alih-alih membalas pesan Tom, aku lebih memilih menelpon Kristen.
"Halo, bagaimana keadaanmu sekarang, sist?"
"Aku masih shock tentu saja. Kapan pemakamannya?"
"Sebenarnya aku menunggumu."
"Kris, kasihan jasadnya. Makamkan saja tanpa aku. Mungkin dua hari kedepan aku akan ke London."
"Baiklah jika itu maumu. Nanti sore biar kuurus pemakaman ibu."
"Kuserahkan semua padamu. Sampaikan cium cinta dariku sebelum di makamkan."
Kali ini air mataku benar-benar tak bisa dikendalikan saat mengingat ibu. Menyesal karena pada saat terakhirnya aku tak bisa mendekap tangannya, memanjatkan kidung-kidung suci untuk menentramkan jiwanya, dan untuk sekedar meminta maaf atas semua yang telah kulakukan.
Namun baru saja aku akan beranjak dari halte, pandanganku menangkap seorang wanita sedang turun dari taksi tepat di depan gedung apartemen.
Dengan langkah seribu aku lantas segera menyusul wanita yang ku tahu adalah Judith Justice. Suatu kebetulan, bukan?
"Judith Justice!" lolongku parau. Wanita itu menoleh dan menemukanku di antara orang-orang yang ramai.
Senyumnya yang merekah menyambutku saat sadar bahwa aku Emma Charlotte Marquez. Istri dari lelaki yang pernah hidup di masalalunya. Tetangga paling bodoh untuknya.
"Emma? Sedang apa di Barcelona?"
"Hanya berjalan-jalan, Ju." jawabku seriang mungkin. Tak menghiraukan seribu belati yang rasanya ingin kuhujamkan pada wanita ini. Bisa kulihat dari matanya ia memandang sekitar untuk memastikan sedang bersama siapa aku saat ini di Barcelona.
"Kau sendiri? Mana Madelynn dan Marc?" ucapnya seolah semua tidak pernah terjadi apa-apa. Devil!
Wanita ini masih juga bisa bersikap seolah tak terjadi sesuatu.
"Ya. Lynn kutitipkan pada ibu dan Marc... eum dia sedang ada pekerjaan."
"Ayo ikut ke apartemenku."
Ada rasa perih yang teramat meyayat saat tangan Judith menyelip pada tanganku."Kau tinggal di apartemen? Bukankah dulu kau bilang tinggal di rumah Robbie?"
"Yah, sesekali aku mengunjunginya. Dan kebetulan ini hari minggu, jadi aku sekedar mengunjungi dan membersihkannya." Tak ada yang bisa kukatakan lagi. Aku hanya mengikutinya menuju di mana tempat tinggalnya berada. Tempat tinggal yang pernah digunakannya dengan suamiku, mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
FanficCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...