Marc menggeliat di balik selimut tebalnya. Kelopak matanya memicing menyesuaikan cahaya yang menyela dari balik tirai. Menatap tempat lenggang di sebelahnya, tak ada Emma di sana. Lynn juga tak ada di box nya. Pandangannya beralih pada jam dinding yang saat ini menunjukkan pukul satu siang. Marc kembali menghempas tubuh topless nya bersamaan dengan tarikan nafas berat.
"Shit." Dengan sadar ia mengingat kejadian semalam yang membuatnya mabuk, lalu tentang ciuman paksa pada Judith yang membuat wanita itu menamparnya.
Marc memijit kepala yang masih pening. Rupanya kadar alkohol yang dinikmati kemarin kian menjalar hingga otak sehatnya tak mampu lagi menghilangkan wajah Judith.Marc memutuskan untuk mandi, mengguyur seluruh badan dan kepalanya agar mendingin lalu berhenti memikirkan Judith. Judith Judith Judith.
Di bawah guyuran air shower lelaki itu meninjukan kepalan tangannya. Tak peduli sakit yang menjalari buku-buku jari, yang ia imginkan hanya mengusir bayangan Ju secepat mungkin. Marc Tidak ingin lagi menyakiti hati Emma dan Lynn.
Sudah cukup hatinya melupakan keberadaan Emma."Kau di sini?" ucapnya saat turun dan melihat Alex di depan layar televisi plasma.
"Di mana Emma?"
"Enteng sekali berkata begitu?"
Mendengar kata Alex, Marc menghentikan kegiatannya yang kala itu menuang air dalam gelas."Apa maksudmu, bodoh?"
Cukup sudah Alex menahan kata-kata kotor yang sedari dulu ingin ia keluarkan untuk Marc. Alasannya karena Emma. Wanita itu selalu melarang Alex bertindak gegabah pada suaminya.
Mungkin ini saat yang tepat."Bodoh katamu? Kau yang bodoh, Marc."
Geram, Marc membanting gelas hingga pecah. Ingin sekali menyumpal mulut Alex yang tak tahu diri itu."Jaga batasanmu. Aku kakakmu."
"Begitu? Huh, suami macam apa kau istrimu pergi kau bahkan tak tahu."
"Pergi?" Ulang Marc. Namun terdengar seperti pertanyaan.
"Ya, pergi ke London. Itu karenamu. Kenapa kau membentaknya semalam, huh?"
Benarkah ia membentaknya?
Marc melepas cengkeramannya di baju Alex.
"Aku... bukankah aku mabuk?"
"Ya, kau mabuk setelah beberapa tahun kau tak menyentuh minuman keras. Ada apa denganmu, Marc?"
Marc terduduk lemas di sofa. Dia benar-benar tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Emma pergi membawa Lynn dan kenyataan itu membuatnya bersedih.
"Aku tahu Judith telah kembali. Tapi kau harus ingat telah memiliki Emma dan Lynn. Setidaknya berilah seluruh cintamu pada mereka."
Lama terdiam Marc memikirkan ucapan Alex. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan Alex keluar dari rumah setelah mengatakan hal itu.
***
Alex ingat betul ketika menemukan Emma dan Lynn tertidur di ruang tamu pagi tadi. Ia mengerti perasaan Emma yang tampak kacau. Apalagi ketika mendengar cerita Emma bahwa Marc sedang dalam keadaan yang bukan dirinya.
"Mengapa Marc berubah, Em?"
"Tidak, dia hanya sedang mabuk."
"Tapi dia menyakiti perasaanmu. Membentak seorang perempuan bukan cara yang benar. Apalagi kau istrinya."
"Aku tidak apa-apa. Bisa kau antar aku ke bandara jam 10 nanti?"
"Kau bilang akan pergi sore."
"Aku ikut penerbangan tengah hari. Sampaikan izinku pada ibu dan ayah ya nanti."
Alex menghembuskan nafas kasar. Hatinya sudah terikat secara gaib dengan Emma. Bukan perasaan cinta, tapi melindungi sahabat lebih penting dari sebuah cinta.
Untuk apa jika saling memcintai tapi akhirnya menyakitinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
FanfictionCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...