Judith duduk termangu di kursi malasnya menghadap pemandangan teluk buatan yang menjadi nilai plus dari apartemen ini. Matanya menerawang jauh membayangkan Marc, lelaki yang hidup kembali dan berhasil merasuki setiap rongga kerinduan yang sempat kosong di hatinya. Namun lelaki itu tak ada kabar beberapa hari setelah hari itu. Jika Judith bisa, jika keadaan Marc tidak seperti ini, mungkin Ju akan pergi menemui lelaki itu dan menceritakan semua yang terjadi dengan hati senang. Namun Judith harus menelan semua itu mengingat Marc telah memiliki seorang istri.
Sambil sesekali berdesah lemah, Judith memutar sebuah lempengan kecil yang bertanda dua strip merah dengan ibu jari dan telunjuknya.
Hamil. Bagaimana mungkin Judith melupakan penggunaan pil kontrasepsi saat berhubungan kemarin. Sialnya lagi, lelaki itu sudah seminggu tak datang.
"Brengsek." umpatnya ditelan hembus angin.
"Kau harus bicara, Ju. Atau jika tidak dia akan meninggalkanmu." sambung Judith ketika berbicara dengan dirinya sendiri.
Mengabaikan konsekuensi yang entah apa akan diterimanya, Judith nekat mengirim sms pada nomor Marc. Judith hanya berharap bahwa Marc sendiri yang akan membuka pesannya.
Kau kemana saja?
Aku merindukanmu.
Bisakah kita bertemu?
Kumohon balas pesan ini.Beberapa menit menunggu, akhirnya sebuah balasan dari Marc datang.
Sudah kubilang jangan menghubungiku sebelum aku menghubungimu, Ju.
Baiklah. Nanti aku akan ke apartemenmu. Ada hal yang harus kubicarakan juga.Judith tersenyum. Meski hatinya meringis saat membaca pesan dari Marc yang seolah mengatakan bahwa, Siapa Judith untuknya?
Setidaknya lelaki itu akan datang menemuinya dan Judith akan memberitahukan segala hal tentang kehamilannya.
Kedengarannya tidak bagus, bukan? Tapi Judith ingin Marc tahu bahwa ia juga bisa memiliki anak.***
Marc membuang nafasnya kasar setelah membalas pesan Judith, membuat perasaannya menjadi kacau pagi ini.
Belum lagi memikirkan perubahan sikap Emma pada dirinya setelah kejadian malam itu. Perubahan sikapnya memang tidak seperti dulu, namun wanita itu bisa menjadi sosok monster ketika suasana hatinya sedang tidak baik.
"Permisi, Mr. Marquez. Mr. Felton ingin bertemu dengan anda." Daphne berdiri di pintu ruangan dengan sopan.
Marc meloloskan nafas beratnya yang tertahan. Ia tidak sedang ingin bertemu siapapun saat ini. Apalagi Tom Felton, lelaki inggris yang merupakan rekan kerjanya selalu memaksanya bekerja lebih keras akhir-akhir ini.
"Aku sudah bilang tak ingin bertemu dengan siapapun, Daphne."
"Tuan Felton memaksa, Tuan."
"Aku tidak...."
Belum selesai Marc mengatakan keberatannya menerima tamu, apalagi tamu seperti Tom Felton.
"Tidak apa, Marc?" Sosok pria British bertubuh jangkung masuk begitu saja melewati bahu Daphne.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
أدب الهواةCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...