Aku diam di depan pintu apartemen Marc dan berusaha setenang mungkin untuk menghadapi 'mantan' suamiku. Kukira tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenali temperamennya. Karena aku yakin pria itu sedang sangat terpukul dengan kematian sahabatnya.
Mengingatnya membuatku ingin menangis lagi. Cepat sekali Tom datang memberiku cinta dan kebahagiaan, setelah itu meninggalkanku dalam diam dan tiba-tiba. Tanpa ucapan selamat tinggal dan senyum menguatkan, Tom pergi begitu saja.
"Emma?" Suara wanita, yang kutahu adalah suara Jade menamparku untuk kembali pada kenyataan.
Jade berdiri di depan pintu menatapku sedih. Aku bahkan tidak perlu bertanya untuk tahu bahwa wanita itu sedang bersedih.
"Masuklah. Dia seperti pria depresi parah." Tidak ada keinginan untuk bersalaman, Jade segera keluar melewati celah bahuku.
"Jade..." panggilku yang membuat pergerakan tubuh kurus Jade berhenti.
"Terima kasih banyak."
"Sudah tugasku menjaga kedua sahabatku. Kau tahu Emma, menurutku kau adalah wanita yang spesial. Dua lelaki yang bersahabat karib bisa bertekuk lutut untuk mengharapkan cintamu. Kau beruntung sekali."
Tidak ingin menjawab penyataan itu, aku membiarkan punggungnya menjauh meninggalkanku dan masuk ke dalam kamar apartemennya.
Sekali lagi aku menghela nafas kemudian melangkahkan kaki untuk masuk lebih dalam mencari keberadaan Marc Marquez.
Pria itu meringkuk di atas kasur dengan menekuk kakinya sampai batas dada. Dari yang bisa kutangkap, Marc sedang terisak dengan menggumamkan sesuatu.
"Aku turut berduka, Marc."
Isakannya berhenti. Marc diam sejenak lalu berbalik badan menemukanku berdiri seperti orang sinting di kamarnya.
"Bukan Tom yang seharusnya mati." lirihnya. Keadaannya bahkan lebih kacau dari saat sebelum ia melakukan operasi. Lingkar matanya menghitam terukir pada wajahnya yang semakin tirus.
"Sudahlah. Semua sudah terjadi. Kau harus merelakan dan menjalani hidupmu kembali, Marc."
Satu hal yang ingin kulakukan saat ini adalah duduk dan membawa Marc dalam pelukanku. Aku ingin menenangkannya, karrna bagaimanapun kami berdua sama-sama telah kehilangan orang yang tercinta.
"Dia mengorbankan segalanya demi hidupku, Emma. Tapi dia tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri." Kali ini suaranya parau tertahan antara jantung dan tenggorokan.
"Dia menemukanmu lebih dulu sebelum aku. Dia menyakiti dirinya sendiri dengan berbohong padaku bahwa kau tak membalas perasaannya. Nyatanya aku tahu kau juga sangat mencintainya."
Aku sudah berjanji sebelumnya bahwa aku tak akan menangis lagi. Tapi kali ini airmataku turun kembali dan lebih deras mendengar kata-kata yang disusun oleh Marc.
"Ketika aku sembuh dan mulai menjalani hariku lagi, aku berharap kau dan Tom akan bahagia. Aku merelakanmu meski sebenarnya dengan tak tahu diri aku masih sangat mencintaimu. Kau dan Tom berhak bahagia. Kalian bisa menikah dan bahagia sampai maut memisahkan."
Marc menangkup wajahnya dengan telapak tangan mengusap sisa-sisa air mata yang tak terelakkan. Sedetik kemudian tangannya terulur pada nakas dan mengambil sebuah buku bersampul hijau tua.
"Bawa ini, Em... dan pergilah. Aku ingin sendiri."
Kumasukkan buku itu ke dalam tas. Menyimpannya rapi, mendekapnya seolah itu adalah barang berharga.
"Kau tidak ingin pulang ke rumah Ayah?"
"Masih pantaskah menurutmu?"
"Aku hanya bertanya. Madelynn ingin tidur denganmu. Sekarang dia menginap di rumah ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
FanficCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...