FA- 29

571 62 32
                                    

"Aku tidak tahu jalan pikiranmu."

Kepalan tangan Alex meninju meja kantornya, merasa kecewa dengan kehadiran Kristen siang ini.

Kristen yang ada di hadapannya memutar bola mata. Meski tidak kenal terlalu akrab dengan mantan adik ipar Emma, tapi sedikit-sedikit ia pernah mendengar cerita tentang Alex dari Emma. Pria ini mudah emosi dan tidak akan menyerah pada apapun.

"Aku melihat Emma bahagia, Lex. Aku tahu betul bagaimana kakakku dan kemarin malam mungkin malam yang spesial untuknya."

Alex tidak menjawab, ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Bukankah itu yang selalu diharapkan Alex pasca Emma dan Marc berpisah? Emma bahagia tanpa lelaki pecundang yang sialnya adalah kakak kandungnya.

"Bukankah itu yang juga kau harapkan? Melihat Emma dan Lynn bahagia."

"Setidaknya jangan dengan Tom Felton."

"Memangnya apa yang salah? Aku mengenal Tom sudah lama dan aku tahu dia tulus mencintai Emma."

"Kau egois, Kris. Kau menginginkan kakakmu bahagia sementara kau membiarkan kakakku terluka." Alex mengendurkan otot wajahnya ketika ia melihat Kristen terkejut dengan nada bicaranya yang terlalu keras.

"Apa? Apa maksudmu?"

"Kau tahu sendiri Tom dan Marc bersahabat baik. Bukan hanya berteman, keluarga Felton bahkan membuka pintu lebar-lebar ketika Marc diusir oleh ayahku."

Kini giliran Kristen yang terdiam. Dia memang pernah melihat Tom dan Marc bersama. Kristen hanya tidak mengira hubungan pertemanan mereka melebihi yang ia bayangkan.

"Jadi... bagaimana?"

"Tom harus tahu bahwa Emma adalah istri Marc. Kau tahu Kris, bahwa hubungan ayah kandung tidak bisa digantikan begitu saja."

***
"Kau marah?"

Tidak enak hati ia melihat pria pirang itu diam sejak makan malam berakhir. Dari sudut bibirnya, Tom tersenyum lalu mendecakkan lidah.

"Seharusnya iya. Tapi aku merasa baik-baik saja. Tenanglah."

Emma tersenyum kaku. Tom tak bisa begitu saja menyembunyikan rasa patah hatinya. Pria itu terlalu memaksa menutupi kesedihan yang ia hadapi.
Kenyataan yang pahit.

"Tom, kau tahu kenapa..., aku tidak akan pernah bosan meminta maaf."

Tom, meski telah ditolak, ia tetap merasa hatinya tidak apa-apa. Namun yang terjadi justru semakin perih yang dirasakannya.

"Aku tahu, Em."

"Lalu kenapa kau diam saja? Kau bisa menamparku atau apapun."

"Ah, kau kira aku pria seperti itu? Tidak. Aku hanya menyesalkan masa lalu. Aku terlambat dan aku menyesalkannya hingga sekarang."

Emma menelan salivanya dengan susah payah. Ia tidak pernah sebersalah ini pada siapapun. Getir yang ia cecap rasanya berbanding terbalik dengan masa indahnya bersama Marc.

Mengapa justru pria yang dicintainya tega menggores benda yang mudah terluka ini? Sedangkan pria yang sama sekali tak pernah dipikirkannya justru rela bertahun-tahun mencari, menunggu dan berbelas kasih padanya.

Emma mengerjap ketika menyadari liquid matanya meleleh.

"Terima kasih untuk semuanya, Tom. Aku tidak bisa karena aku masih terikat pernikahan yang entah sampai kapan akan berakhir."

"Aku paham. Akan kutunggu sampai kapanpun kau mencintaiku."

Emma tersenyum. Haruskah? Diakah yang memang tercipta untuk memberikan seluruh cinta untuknya?

FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang