FA- 31

568 52 19
                                    

Marquez, 'Kitchen'

Bau tanah dan rerumputan basah menyeruak segar setelah hujan mengguyur Cervera di siang hari. Langit masih nampak mendung, awan kelabu menggumpal nampak menghiasi semestanya. Rosser berdiam di ruang tamu dengan sesekali menghapus jejak airmata yang tidak bisa berhenti.

Hati kecilnya berteriak bahwa ia sangat merindukan Marc, sang sulung yang entah di mana kini ia berada. Mata Rosser melihat ke arah jam dinding, seharusnya Alex sudah pulang tapi entah kemana anak bungsunya itu sekarang.

"Tidak tidur siang?" Rosser tahu sang suami memanggilnya. Tanpa berniat menoleh, ia hanya menggeleng.

"Alex belum pulang?" tanyanya lagi. Tapi tetap, Rosser enggan menyahuti.
Sejak Julia mengusir Marc dari rumah, Rosser selalu bersikap dingin pada suaminya. Ia terlalu sakit hati dan menderita sejak kepergian Marc. Ditambah lagi bahwa anak itu tidak di temukan di mana-mana. Terakhir ia ikut menunggu di rumahnya yang lama seperti yang di lakukan Alex dulu tapi Marc tidak juga muncul.

Tak lama mobil hitam mentereng Alex menepi di garasi rumah. Rosser menyongsongnya begitu Alex masuk ke dalam rumah.

"Bagaimana? Apa kau bertemu kakakmu?" Alex melepaskan nafasnya yang berat. Sejujurnya Alex tidak tega terus membiarkan ibunya seperti ini. Bagaimanapun, Marc adalah kesayangannya.

Ia merotasi mata pada ayahnya.

"Tidak, Mom. Marc tidak pernah datang lagi sebulan terakhir ini."

"Oh, yasudah. Kau istirahat saja sana." Lagi-lagi hati Alex terasa pedih. Pertanyaan dan jawaban yang sama setiap hari. Alex akan menunggu kapan semua ini akan berakhir. Bahkan ia sudah berjanji pada diri sendiri, bahwa ia akan langsung menyeret Marc Marquez pulang begitu mereka bertemu.

Sebenarnya Alex bisa saja langsung mendatangi kantor Tom Felton dan mencari Marc lalu membawanya pulang. Tapi tidak ia lakukan karena beberapa sebab. Ya, sebab yang tak bisa disangkalnya bahwa ia tidak begitu suka dengan Tom Felton. Bukan membenci, tapi tidak terlalu suka. Apalagi mengetahui bahwa pria british itu sedang terlihat mendekati Emma.

"Berhentilah bersikap menyakiti dirimu sendiri, sayang." samar-sama Alex bisa mendengar perbincangan kedua orang tanya di bawah.

"Aku kehilangan anakku, menurutmu wajarkah seorang ibu merasa baik-baik saja setelah tiga tahun lebih tidak bertemu anaknya?"

Julia diam. Ia menyesalkan keegoisannya karena telah mengusir Marc. Bohong jika ia menolak merindukan putra sulungnya. Julia selalu mendoakan apapun yang terbaik untuk Marc, lebih lagi agar dia kembali. Julia memang sangat menyayangi Emma dan marah saat mengetahui perselingkuhan yang Marc lakukan hingga membuat menantu dan cucu tersayangnya pergi.

"Marc bisa menjaga dirinya sendiri. Lagipula yang kulakukan adalah untuk memberi pelajaran padanya."

"Pelajaran? Hmmm?" Rosser mengangkat sudut bibirnya.

"Ya. Marc sedang dalam tahap kesuksesan dan memiliki segalanya. Bukan berarti ia bisa mempermainkan hati seorang wanita. Apalagi Emma adalah istri sah yang dia nikahi di hadapan Tuhan. Aku hanya memberi pelajaran bahwa kekuasaan dan materi bukanlah senjata untuk bermain-main, justru keduanya adalah senjata yang akan menghancurkan hidup dengan cepat."

Julia benar. Marc mungkin tergoda dengan wanita lain ketika kesuksesan yang telah lama ia bangun berkembang pesat. Melupakan sosok istri setianya di rumah. Seorang istri yang jelas memilih meninggalkan huru-hara karirnya demi mengatur rumah tangga. Yang rela menjadi tambun hanya untuk melahirkan dan memberi air susu eksklusif untuk buah hatinya. Putra sulungnya hanya tidak bisa melihat Emna dari sisi itu. Marc tidak bisa tahan dengan godaan hidup yang harusnya menjadi benteng, akhirnya ia kalah dan terjerembab dalam kubangan yang dalam. Hingga untuk keluar dari kubangan itu ia merasa tidak sanggup.

FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang