FA- 18

1K 81 41
                                    

Marc tiba di rumahnya saat senja mulai merangkak naik setelah menyelesaikan urusan bisnisnya dengan Tom beberapa waktu lalu. Lelaki itu mematung sejenak sebelum membuka pintu menjulang di depannya. Ia juga tak tahu apakah istrinya ada di rumah tetap menunggunya seperti dulu atau justru pergi untuk menjernihkan pikiran. Namun Marc; lelaki yang tengah gundah hatinya itu berharap semua akan kembali seperti dulu. Marc tahu hal itu mungkin sulit bagi mereka mengingat betapa kejam pengkhianatan yang ia lakukan. Tapi jauh dalam lubuk hati Marc, ia sangat takut kehilangan Emma dan Lynn.

Perlahan Marc membuka pintu rumahnya yang ternyata tidak di kunci. Pertanda bagus bahwa Emma sedang di dalam. Menunggunya? Mungkin.

Benar, bahwa Emma tengah bersenda gurau dengan Lynn di dalam kamar mereka. Seolah menganggap Marc tak ada, Emma terus menggelitik perut Lynn yang tertawa keras.

"Sore," sapa Marc canggung.

"Daddy, Daddy pulang, Mom! Lihatlah."

Emma menoleh, tersenyum sekilas lalu beranjak turun dari ranjang.

"Lynn, ayo kita jalan-jalan sore."

"Tidak. Aku ingin bersama Daddy, Mom." Dengan sekali tangkap, Lynn meloncat dalam pelukan Marc.

Jujur saja, Emma belum bisa berada dalam satu ruangan dengan lelaki pengkhianat ini.

"Ayo kita jalan-jalan bersama, Dad!" Lynn mulai merengek.

"Daddy lelah. Kita berdua saja."

"Tidak, Mom." Emma menghela nafasnya untuk meredam emosinya. Entah mengapa akhir-akhir ini ia sering merasa emosinya cepat naik. Maka membiarkan Marc mengambil alih peran saat ini adalah jalan yang terbaik. Mengingat lusa nanti semuanya akan berubah menjadi perpisahan yang menyakitkan.

***
Menerima kenyataan ini tak semudah yang kubayangkan. Apalagi keputusan yang kuambil seolah hanya keputusan sepihak. Tidak menguntungkanku, maupun Marc. Aku hanya tidak bisa hidup bersama Marc setelah perlakuannya. Aku juga tak ingin membebani diriku setelahnya.

Tapi memisahkan anak dari ayahnya? Ini adalah keputusan paking sulit untuk ditentukan.

"Belum tidur?"

Aku terhenyak dari lamunan saat melihat Marc muncul dari balik pintu. Tetap pada posisi duduk di tepi ranjang, tapi aku bisa melihat Marc tengah melepas kemejanya yang tak sempat diganti tadi.

"Aku akan ke London."
Marc menghentikan aktivitas tangannya melepas kancing. Dia menatapku dari pandangannya yang sayu. Aku tahu apa yang dipikirkannya sekarang dan aku yakin dia hanya pasrah.

"Kau tidak mau memaafkanku?"

"Kau tahu ini sulit. Ibuku meninggal beberapa hari yang lalu, suamiku berselingkuh, dan aku harus membawa beban ini kemana-mana sendiri. Aku kehilangan orang-orang yang kupercaya dan kucinta sekaligus."

"Apa katamu? Ibu meninggal? Emma... emma... kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Kita bisa kesana dan..."

"Aku ingin pergi dengan Lynn saja. Ini sulit untukku Marc. Beri aku waktu untuk menjernihkan otakku."

Marc mengacak rambutnya dengan frustasi. Ia duduk di sebelahku, menatapku sejenak lalu memelukku. Inilah hal yang paling kusuka saat beribu beban terasa berat. Hanya pelukannya yang mampu menenangkanku, hanya pelukannya yang membuatku merasa memilikinya. Namun itu dulu, saat cinta kami masih bersemi seindah taman bunga di musim semi.

Namun justru musim gugur yang sekarang mendera biduk rumah tanggaku. Bukan musim semi yang indah ataupun musim panas yang hangat. Rumah dan ranjang ini mendingin seiring kesakitanku yang luar biasa.

FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang