Marc memicingkan matanya, terbangun dari tidur karena obat bius sejam yang lalu. Seperti biasa, ulu hatinya nyeri ketika ia bergerak.
Bukan karena apa Marc terbangun. Inderanya mendengar suara isakan pelan dari seorang wanita. Jade meringkuk di sofa sambil membenamkan kepala diantara dua lututnya.
"Jade?" Panggil Marc lirih. Kepala Jade menoleh lalu kembali menumbukkan matanya ke bawah.
"Siapa yang berani menyakitimu?"
"Memangnya kenapa jika ada yang menyakitiku?"
"Aku bisa saja memukul hidungnya sampai bengkok."
"Cih, berdiri saja kau kesakitan." Jade mencibirnya. Marc hanya bisa terkikik malu.
"Tom memberiku hadiah, buku ini. Huh... setelah membaca aku tidak bisa mengakhirinya lagi. Aahhh aku tidak tahu rasanya menjadi seorang single parent, tapi yang jelas aku tidak akan pernah mau."
Marc diam. Hatinya berkecamuk mengingat Emma yang entah kini membawa putrinya kemana.
"Penulis baru, namanya Charlote Marisela." Marc mendongak dengan pandangan mata seolah bertanya.
"Siapa?"
"Charlotte Marisela. Kenapa? Kau mengenalnya?"
"Namanya mirip dengan anakku. Marisela."
"Kau mau membacanya?"
"Setebal itu? Tidak, terima kasih." Jade meraup wajah Marc dengan kesal.
"Di mana Tom?"
"Dia sedang ke rumah sakit pusat untuk mencari informasi donor hati."
"Jangan bersusah payah mencarinya. Aku sudah siap jika..." sebelum Marc melanjutkan kalimatnya, Jade membungkam mulut itu dengan tangannya.
"Sudah kubilang kau masih punya hutang padaku. Jadi kau tidak boleh meninggal, mengerti?"
Tak beberapa lama berkelakar, Tom datang dengan wajah lesunya. Lagi-lagi ia gagal mencari donor hati untuk Marc.
"Ada kabar baik?" Lelaki itu menggeleng.
"Maaf, Marc."
"Tak apa. Aku tahu itu susah."
"Tapi kabar baiknya adalah kau boleh pulang hari ini. Dokter bilang kau merasa tertekan berada di rumah sakit dan itu lebih berbahaya untukmu."
***
"Istirahatlah. Aku pulang dulu."
Wanita itu, Tom dan Marc masih tak percaya memiliki Jade dalam hidup mereka. Wanita yang keibuan dan peduli terhadap semua orang yang membutuhkan uluran tangannya.
"Romantis sekali." Tom bersiul menggoda.
"Kurasa dia menyukaimu, Marc."
Marc memutar bola matanya lalu mengambil remote tv di nakas.
"Kau saja yang tidak peka. Dia menyukaimu, tahu?"
"Ah, ngomong-ngomong soal itu, aku ingin bercerita tentang wanita yang kucintai."
Marc berusaha mengingat hingga dahinya berkerut.
"Wanita yang kau temui di gereja dulu?"
"Benar, aku melamarnya meski dia menolak."
"Menolak? Kenapa? Hanya karena dia memiliki anak?"
"Nyatanya, dia tak pernah bercerai sah dengan suaminya. Tapi aku siap menunggu sampai dia mengambil keputusan."
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
FanficCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...