Emma melihat sekitar ruangan luas itu di sela duduk santainya di lobby kantor. Menunggu panggilan untuk bertemu dengan pemilik Klug's Publishing ini. Berniat mengusir rasa bosannya, Emma menyalakan ponsel untuk sekedar melihat pemberitahuan yang diterima.
Nihil. Tak ada satupun pemberitahuan yang masuk. Dahinya mengerut, mengernyit, dia benar-benar menjadi orang asing sekarang. Dirinya telah menghapus nama Marquez dan beralih kembali menjadi Watson. Benar-benar tinggal di kawasan kecil sudut kota Madrid dan terasa hidup di pengasingan.
Emma menelengkan kepala menghadap dinding-dinding tembus pandang di belakang punggungnya. Menikmati hiruk pikuk Madrid di pagi yang dingin. Ada bisikan harapan yang terselip, bahwa ia hanya ingin hari ini akan berjalan baik dan diberkahi.
"Permisi, Nyonya." tegur seorang pria berperawakan jangkung yang berdiri sopan di depannya.
"Ya?"
"Anda telah ditunggu. Mari saya antar."
Sesaat Emma teringat Alex ketika berjalan di belakang pria itu. Adik ipar yang kadang-kadang berubah menjadi penasihat pribadi. Batinnya mendesah, merasa sangat rindu sekaligus bersalah.
Rindu pada Ibu Roser, Ayah Julia, Alex, dan mantan suaminya. Begitu merasa sangat berdosa ketika harus pergi tanpa kembali. Jika saja ia bertemu dengan keluarga Marquez lagi, ia akan sangat terbuka menerima hukuman.
"Silahkan."
Emma tersentak. Mendadak berhenti seperti orang tolol yang ketahuan melamun."Terima kasih." Pria jangkung tadi mengangguk dan berlalu meninggalkan Emma dengan langkahnya yang panjang.
Tanpa ragu lagi kaki jenjangnya melangkah masuk dan melihat sopan ke arah ruang kerja bos besar penerbitan ini.
Alis wanita cantik itu menukik, menajamkan penglihatannya. Kali ini bibirnya tersenyum lebar begitu tahu siapa pria yang tengah berdiri bersedekap, menatapnya sambil tersenyum lebar pula. Seakan Emma adalah hal paling lucu yang pernah ia lihat.
"Ferret!" serunya.
"Kau ada di kantorku, Semak. Jangan memanggilku Ferret."
Emma menutup mulut saking terkejutnya.Tom Felton berdiri menyambut kawan lamanya. Ralat.
Emma Watson adalah wanita yang ditunggunya selama ini.
Namun bagi Emma, bertemu lagi dengan pria pirang ini membuatnya sedikit mengulas masa lalu. Masa lalu memalukan lebih tepatnya.
"Masuklah, jangan seperti orang asing." ramah Tom mempersilahkan.
Tertegun, Emma belum lagi melangkah dan tetap pada posisinya. Dirinya memang benar-benar seperti orang asing. Meski Tom Felton tidaklah asing baginya.
"Emma,"
Kepala Emma menyentak, seperti orang tolol lagi. Bibirnya tersenyum kaku dan dengan percaya diri ia masuk dan duduk di kursi tepat di depan Tom.
"Aku tidak menyangka." Emma memulai obrolan.
"Kau kira ini kebetulan?"
Bahu wanita itu naik sebagai jawaban."Menurutku ini adalah takdir." Tom tersenyum hambar. Tahu betul Emma tidak akan suka dengan candaannya. Tapi justru Emma terkekeh pelan.
"By the way, aku sangat tersentuh membaca cerita ini. Aku tidak tahu kau memiliki bakat menulis."
"Jangan meremehkanku, Tom. Aku kan multi talenta." Emma memberengut.
"Well, aku percaya. Selain pemarah kau juga suka ngambek ya."
"Tom," wajah Emma sudah merah menahan malu. Dan Tom segera mengakhiri keisengannya. Tapi sebenarnya melihat rona malu Emma seperti sekarang adalah hal yang paling ditunggunya. Tom berbunga, jelas. Bertemu dengan wanita yang sangat diharapkannya. Tuhan tahu betul apa yang diinginkannya. Kini wanita itu muncul di hadapannya. Di depan hidungnya. Bisa ia lihat kecantikannya yang matang dan tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
FanfictionCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...