Aku sampai di sebuah apartemen kosong di pusat kota Lleida bersama Judith. Sebuah apartemen menengah ke atas yang disewakan lengkap beserta perabotnya. Wanita itu tampak mengamati sudut demi sudut ruangan sambil berkelakar senang. Tapi untuk kali ini aku tidak tertarik dengan segala ucapannya. Seluruh pikiranku melambung pada Emma, pasti wanita yang masih berstatus sebagai istri sahku itu sedang bersedih karena ulahku tadi.
Tentu saja aku sangat menyesal telah menamparnya pagi tadi. Bagaimanapun juga dia adalah wanita yang kunikahi karena aku mencintainya. Jangan pula menyangka aku lupa siapa Emma karena sebagian dari dirinya bersemayam dalam raga Madelynn, anak kesayanganku.
Ngomong-ngomong tentang Lynn, hatiku merasa sangat bersalah karena mengabaikan panggilannya tadi. Harusnya aku menggendongnya, memberi kecupan sayang untuknya meski aku masih marah kepada ibunya. Bukan malah tersenyum tipis mengabaikan suaranya yang-- Ya Tuhan, bahkan aku tak tahu anakku kapan anakku bisa menyebutku Daddy.
Aku hanya tidak suka Emma terlalu mencurigai kegiatanku. Oke, biar kujelaskan.
Aku memang keluar kantor pukul lima sore dan tidak kembali lagi setelah mengantar Judith menemui rekan-rekannya di bar.Bermaksud ingin pulang, namun rekan bisnisku yang menyebalkan ingin aku menemuinya dan memaksaku bekerja hingga larut. Kadang kala aku menyesal menerima kerjasama dengan perusahaannya.
Memang aku salah dengan tidak memberi kabar pada Emma, tapi melihat kilatan curiga di matanya juga membuatku ingin marah.
Dan hal yang kusesalkan lainnya adalah; seharusnya aku menjelaskan bukan malah mengabaikannya.
"Are you okey, honey?"
Sebuah sentuhan halus tangan Judith di bahu membuatku terkesiap. Segera kuraih pinggang rampingnya dan mendaratkan ciuman kecil pada lehernya. Judith melenguh terbawa hasrat saat dengan pelan kuraba satu sisi bukit kenikmatannya.
"Kau merasa cocok dengan tempat ini?" ucapku dan menyandarkan kepalaku di bahunya.
"Ehem, di sini lebih tenang."
"Akan kuurus pembayarannya."
"Apa? Tidak, Marc. Aku akan menyewa dengan uangku sendiri."
"Sudahlah,"
"Marc sungguh, aku tidak mau. Jika kau berani membayarnya maka kupastikan kita berpisah."
"Keras kepala. Yasudah kalau begitu."
Mengedikkan bahu, kubiarkan Judith memilih diam bersandar pada dada bidangku.
"Marc, aku merasa keterlaluan pada istrimu."
Kepalaku menoleh mencium pucuk kepalanya yang masih tercium aroma vanila."Kita melangkah terlalu jauh." sambungnya pelan.
"Lalu apa yang kau inginkan? Berpisah?" tanyaku tetap tenang.
"Entahlah. Aku sangat mencintaimu dan berpikir takkan lagi melepaskanmu untuk yang kedua kali. Tapi kali ini berbeda, kenapa aku harus bertemu denganmu saat kau sudah menikah?"
"Ju, aku juga masih memiliki perasaan yang sama padamu, tapi seperti yang kita tahu bahwa aku sudah berkeluarga. Aku mencintai anak dan istriku. Kuharap jika suatu saat nanti kita memang tidak bisa bersatu lagi kau bisa menerima semua ini."
Kepala Ju mengangguk lemah. Aku tahu ini berat untuknya, tapi Emma dan Lynn masih memenuhi hatiku.
"Boleh kuminta sesuatu?"
"Apa?"
"Touch me like you do."
Bibir merah merekah di depanku tersenyum begitu menggoda. Ingin sekali kulumat hingga membengkak dan meninggalkan saliva di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
FanfictionCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...