Sabtu sore di musim dingin, berada dalam bungkam pada satu meja. Marc melirik di mana tempat istrinya terpaku gelisah. Sudut bibirnya mengerut serta otot wajahnya menegang. Marc tahu betul istrinya saat ini tengah mempersiapkan diri menerima apapun yang akan dikatakannya.
"Jadi?" ucap Emma membuka suara. Jelas terdengar seperti pertanyaan penuh selidik.
"Dia kembali dan aku... sempat berhubungan lagi dengannya."
Emma menarik nafasnya lama dan membuang pandangannya dari Marc. Kali ini bukan hanya kupu-kupu yang berputar di perutnya. Tapi seribu belati seakan ditusuk tepat di jantungnya, tidak berdarah namun cukup membuat Emma sesak kesakitan.
"Aku minta maaf. Aku sangat menyesal bertemu dengannya dan memutuskan demikian. Dan untuk kejujuranku, kuharap kau menerimaku kembali. Kenyataan mulai menyadarkanku, bahwa hidupku tak pernah berarti tanpa kau dan Lynn."
Ingin menangis, justru Emma mengeraskan rahangnya. Dugaan Marc memiliki wanita simpanan memang terjadi dan Emma tahu itu. Emma sudah mempersiapkan diri sejak dulu, namun saat kenyataan harus terjawab ternyata lebih pedih dari yang dibayangkannya.
Lagi, Emma duduk tegang berusaha mengontrol emosinya.
"Ini juga salahku. Seandainya waktu itu aku tak memaksamu agar mengantarnya, menyuruh agar dia ikut mobilmu, mungkin akan ada cerita yang beda."
"Maksudmu?"
Emma meneleng menatap Marc dengan pandangan murka yang terluka. Bibirnya masih menipis dan berusaha meredam air mata yang siap tumpah kapan saja.
"Judith Justice. Parfum Morriette eau de Toillette di kemejamu. Bon hotel dan restoran. Juga nota pembelian berlian. Aku tahu Marc. Aku sudah menerkanya. Hanya aku tak ingin menuduh. Judith pindah karenamu. Karena kau takkan leluasa bertemu dengannya sementara istrimu berada di dekatmu. Brilian. Aku hanya tak menyangka kau jujur padaku. Sangat kuhargai."
"Maaf, Em."
Emma diam dan beranjak dari duduknya. Namun Marc menghentikan Emma.
"Em, apa yang akan kau lakukan jika berada di posisiku?"
Emma berdiri menghadap suaminya yang masih tetap duduk di tempatnya.
PLAK
Sebuah tamparan keras dari Emma kembali menyadarkan Marc bahwa inilah yang harus ia terima.
"Menurutmu, apa yang akan kau lakukan jika berada di posisiku, Marc? Bagaimana kau bertanggung jawab terhadap kehamilan Judith sementara aku juga memiliki hak atas dirimu? Apa kau sanggup berbagi cinta dengan wanita lain?"
Marc terkesiap.
"Jadi kau tahu?"
"Aku bertemu dengannya tadi."
Tak sanggup lagi menahan air matanya, Emma segera pergi dari hadapan Marc.
Mengunci pintu kamarnya dari dalam, Emma menghambur memeluk Lynn yang terbangun. Lynn satu-satunya kekuatan yang dimilikinya saat ini. Saat suaminya sendiri mengkhianati, saat dunia membenci, saat semua arah terkunci, hanya Lynn yang ada sendiri. Anak itu memang tak tahu apa-apa tapi hanya mendengar tawa dan suaranya, Emma mampu melindunginya dari apapun sendiri. Sendiri walau tanpa suami.
Namun suara deringan ponsel membuat Emma mengalihkan perhatian.
"Halo Kris?"
"Sis, bisa kau ke London secepatnya? Ibu... ibu meninggal sejam yang lalu."
Ada isakan yang menggenang di sana.
"...." hening. Emma diam."Aku berusaha menghubungimu dari tadi. Tapi gagal."
"Apa? Kristen, ini tidak lucu."
Emma mengelak. Seolah Kristen sedang mengerjainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
FanficCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...