GOTCHAAAA !!!
Sebenarnya ada hal penting yang ingin kubahas di sini.
Di part sebelumnya ane udah kasih note kalau ane pengeeeennn banget cerita FF kita di CETAK.
Iya... KITA.
Para owner dan Author dari #MarquezistasWattpadCommunity.
Siapapun, yang ingin berkontributor SILAHKAN !.
Kami membatasi hanya 15 Karya yang masuk.
Sementara nduk Littlepaper93 masih akan mengurusi rencana penerbitannya dan membuat Rules untuk para kontributor.Fyi, ini bukan bentuk materialis agar menghasilkan uang. NO.
Setiap kontributor yang ikut nantinya akan mendapatkan satu bukti cetak agar merasa punya kenangan dengan persahabatan yang kita jalin.
Cerita berbentuk oneshoot/cerpen. Sementara ini belum ditentukan Rulesnya ya. Alias MENYUSUL.
Soal biaya. Mungkin nanti ada sedikit. Itupun diperuntukkan editing, layout cover, biaya cetak dan mungkin ongkos kirim agar buku sampai di alamat kontributor masing-masing.
Anw, ini masih rencana. Syukur jika ada yang berminat. Silahkan kontak saya di PM WP, Line, BBM, atau Whatsapp.
***
Sudah hampir jam dua pagi.
Tak ada tanda-tanda Marc pulang ke rumah. Berkali-kali Emma melongok ke jendela untuk memastikan bahwa suaminya pulang dengan keadaan selamat. Rasa cemas, khawatir, dan seribu rasa lainnya membaur menghasilkan keringat dingin dan jantung berdebar.
Emma mondar mandir di kamarnya, sesekali menggigit kuku tangan untuk menenangkan diri sendiri. Raut wajahnya tak terbaca seiring kekhawatiran yang kini mendominasi. Lynn sudah tidur selepas jam tujuh malam dan masih nyenyak di boxnya.
"Marc akan pulang, Em. Kau berlebihan." ujar Alex. Emma melempar pandangan tajam padanya. Dan jika seperti ini, maka Alex akan memilih diam dan enggan lagi berbicara.
"Tidak biasanya Marc pulang selarut ini," Alex menyeringai sebal. Lelaki itu yakin bahwa pria menyebalkan--yang sialnya dia adalah kakak satu-satunya sedang bersenang-senang dengan Judith.
"Kumohon, Lex. Pergilah ke kantor. Pastikan suamiku baik-baik saja."
"Bukan aku tidak mau, Em. Tapi..."
"Kumohon." Emma menangkupkan kedua telapak tangannya memandang Alex penuh harap.
Apa yang bisa dilakukan Alex jika seorang Emma memohon seperti ini? Tidak ada yang lain kecuali menyetujuinya.
Tanpa kata lagi Alex bangkit dari duduk nyamannya berniat menyusul kakaknya yang bodoh. Hanya saja Alex tak tahu kemana harus menyusulnya.
Kantor. Baiklah.
Menyambar jaket tebalnya, Alex bergegas menuju garasi. Masih dengan marah karena Marc, kakak bodohnya yang berubah drastis semenjak Judith kembali.
Alex memutar mati kunci mobil saat melihat mobil biru metalik merapat masuk di halaman. Dengan menggeram marah, Alex keluar berniat membuat kakaknya babak belur.
"Keluar kau, bodoh." Alex mengetuk kaca mobil Marc. Namun bukan wajah menyebalkan kakaknya yang muncul. Melainkan seorang wanita dengan dandanan yang membuat mata panik. Terlalu banyak hiasan yang melekat di tubuhnya membuat Alex bergidik.
Wanita banyak acara.
"Kau siapa?" tanya Alex tanpa keramahan sama sekali. Wanita itu tersenyum menggoda.
"Aku menemukan dia di bar sedang mabuk berat. Lalu kuantar dia kerumahnya."
"Dengar aku, jangan katakan apapun atas apa yang terjadi pada kakak iparku. Ayo masuk. Setelah ini kuantar kau pulang."
"Hmmm?" Balas Marc tanpa perlawanan. Lelaki itu terlihat kacau dengan bau alkohol.
"Kau mabuk? Bodoh." Dengan keadaan Marc seperti ini diurungkannya niatan untuk menghajar Marc. Sedikit banyak--meski kesal-- tapi Alex punya hati. Mana mungkin menghajar pria yang sedang tidak sadar.
"Emma!" Mendengar namanya disebut, Emma bergegas turun.
Ia mendapati suaminya berada dalam papahan Alex. Yang lebih mengejutkan, lelaki itu pulamg dalam keadaan kacau. Mabuk. Dan pulang bersama seorang wanita.
"A... apa yang terjadi? Dan siapa kau?" Sungguh, Emma tak tahu harus berkata apa melihat suaminya datang dalam keadaan mabuk dengan seorang wanita.
"Dia temanku. Kebetulan mengenal Marc. Suamimu yang bodoh ini mabuk berat." Alex menjatuhkan tubuh lemah Marc pada sofa. Matanya melirik pada wanita di sebelahnya. Wanita itu hanya mengangguk gugup membalas pandangan tidak percaya Emma. Alex tahu, Emma bukan tipe wanita yang mudah untuk dibohongi. Tapi berbohong lebih baik untuk saat ini.
"Aku akan mengantarnya pulang. Mungkin aku akan langsung pulang ke apartemen. Ayo."
***
Alex dan wanita itu melesat pergi membawa mobil Marc. Tanganku menegang memutar kunci pintu dan kembali dengan ragu pada Marc yang sedang tidak sadar.
Sesungguhnya aku membenci ini. Marc mengingkari janjinya untuk tidak lagi menenggak minuman keras. Tapi mengapa sekarang? Seingatku, kami tak terlibat pertengkaran apapun yang membuatnya harus pulang dengan keadaan seperti ini.
"Marc?"
"Hnngg?"
"Kau mau mandi air hangat?"
"Yah," Meraih tangannya untuk mengalung pada leherku. Kupapah Marc dengan sedikit keseimbangan.
Mengumpulkan sisa tenagaku untuk mendudukkan Marc di kloset. Melepas kemeja dan celananya. Peduli apa? Toh aku istrinya.
Aku mengguyur seluruh badannya di bawah shower yang telah ku atur suhunya menjadi hangat. Menggosok tubuh atletisnya lalu memakaikan handuk.
"Emma," erangnya.
"Aku di sini. Ayo kubantu memakai bajumu."
Marc diam. Hanya mengikuti pergerakan yang kulakukan di tubuhnya. Selesai dengan urusan pakaian, kubaringkan tubuhnya di matras nyaman kamar kami.
"Mengapa kau mabuk lagi?" Marc menelengkan kepalanya, menatapku yang kini berbaring tepat disebelahnya.
Manik mata coklatnya menggelap, tak berkedip. Tak menjawab, ia justru memalingkan wajah.
"Apa kau ada masalah? Kau ingin bercerita?"
Hening. Hanya suara tarikan nafas yang terdengar berat.
"Kau bisa diam? Kepalaku sakit mendengarmu mengoceh."
Kutelan pelan salivaku yang entah mengapa rasanya menjadi sepahit ini. Bukan karena aku tidak memakan apapun sejak sore tadi, tapi penolakan yang baru saja Marc lontarkan.
Dia sedang mabuk. Ya, dia mabuk.
"Baik. Tidurlah. Aku mencintaimu." Tanganku menarik selimut untuk menutupi sebatas lehernya. Mengecup pipinya sekilas dan membiarkannya tidur.
Samar-samar aku mendengar desisan dari mulutnya. Tubuhnya bergerak gelisah.
Nyatanya, ketika jarum pendek jam berada di angka empat. Aku belum juga merapatkan kelopak mataku. Kami sedang dalam kegelisahan yang hanya mampu dirasakan masing-masing. Tanpa bicara. Tanpa bertukar pendapat seperti biasanya.
Dia mabuk. Fakta itu menyadarkanku. Bahwa sebuah persoalan--yang aku tak tahu kadar kerumitannya-- sedang melingkupi hatinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
FanficCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...