FA- 8

998 79 42
                                    

Wanita paruh baya itu datang dan duduk di samping anaknya, Emma yang sedari tadi hanya melamun tanpa mempedulikan sarapannya.

"Kau ada masalah dengan suamimu?" Emma tertegun membasahi kerongkongannya yang kering dengan saliva pahitnya.

Mau bagaimanapun ia menutupi hal ini dari ibunya, tetap saja sebagai ibu, ia akan merasakan apa yang dirasakan anaknya, bukan?

"Bicaralah, Sis." Matanya giliran memandang Kristen, adiknya itu sibuk memberi sarapan pada Lynn.

Jika mengingat Lynn tadi malam, Emma sangat merasa bersalah. Bagaimana mungkin ia tega menghardik anak kandungnya sendiri hanya karena ia rewel tengah malam sampai pagi.
Lagi, air matanya menetes. Tak tahu ada apa dengan dirinya.

"Kemarikan Lynn, Kris."

Ketika Lynn telah berada dalam dekapan, diciumnya seluruh kulit Lynn dengan gemas. Ia merasa bersalah, tentu saja. Bahkan Lynn tak tahu apa-apa saat Emma menghardiknya. Anak sekecil itu.

"Jangan khawatirkan aku, Bu. Aku hanya tidak tenang pergi tanpa pamit pada Marc."

"Kalau begitu kembalilah. Marc pasti marah padamu. Lagipula ibu audah merasa sehat karena kedatanganmu dan Lynn."

"Ya. Entah kenapa semalam Lynn menangis terus."

Tanpa mampu dijabarkan oleh  apapun, Emma tak tahu bahwa sebuah pertanda telah dikirim Tuhan melalui anak tersayangnya.

***

Di tempat yang berbeda.

Judith mengerang pelan saat membuka mata. Terlebih lagi saat melihat seorang pria sedang pulas tertidur di dadanya yang tertutup selimut. Ju menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Entah ia harus senang atau malah merasa bersalah dengan percintaan panasnya dengan Marc semalam.

Judith menggigit bibir bawahnya. Ada semburat rasa bersalah yang tercetak jelas di sana. Ia mengkhianati Robbie, juga Emma Watson, istri sah Marc. Sebagian hati yang lain menolak. Bahwa Marc memang tercipta untuknya seorang.

Tanpa komando, tangan Ju terangkat dan mendarat pada kepala Marc. Menyusuri rambut hitam tebalnya dan membuat sedikit belaian lembut hingga membuat Marc bangun. Mata cokelat tanah miliknya tertumbuk pada wajah Ju yang sedang berbaring menjadi tumpuan kepalanya.

"Ada apa? Kenapa kau melihatku seperti itu? Merasa menang karena telah meniduriku?"

Sudut bibir Marc terangkat ke atas. Lagi-lagi Ju harus menahan dorongan nafsunya yang kapan saja siap meledak jika lelaki kurang ajar yang tengah menindihkan kepalanya ini menyentuh kulitnya.

"Kau benar-benar melepas keperawananmu malam kemarin, untukku?"

Judith memutar matanya malas sebagai jawaban atas pertanyaan Marc. Sekarang ia menyesali sikap bodohnya. Apa yang akan Robbie katakan nanti? Mengaku melepasnya untuk Marc dengan suka rela? Itu gol bunuh diri.

"Kau dalam keadaan mabuk. Aku tahu setelahnya..."

Dan bibir Ju berhenti berceloteh saat bibir Marc membungkam penuh gairah. Ju merasa tubuhnya memanas, ada yang menggelitik di bawah sana. Haruskah?

"Kali ini aku dalam keadaan sadar. Mau melakukannya lagi?"

"Kau gila." Marc menyeringai menang. Kembali ia menindih tubuh Ju yang siap menerima segala kenikmatan yang tengah Marc lakukan di atas tubuhnya.

"Tidak, Marc. Hentikan. Ini salah."

Kali ini Marc menurut. Merebahkan tubuh atletisnya yang naked di samping tubuh seksi Ju.

FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang