Rasanya sepi, tidak diperhatikan dan ditinggalkan.
Marc mengedarkan pandangannya pada sekeliling begitu pagi yang hangat menyapanya. Ulu hatinya terasa nyeri saat tubuh lemah itu bergerak. Tidak ada siapapun di sini yang menjaga. Alih-alih keluarga, ingatkan dirinya bahwa hidupnya kini hanya sebatang kara.
Balasannya sungguh menyakitkan, dan inilah yang harus ia terima.
Marc menoleh saat dokter Paulo membuka pintu kamar perawatannya. Bibir merahnya terlukis senyum cerah menyapa Marc di pesakitannya.
"Selamat pagi, Tuan Marquez."
"Halo, dokter. Halo Nurse." Nurse Gabriela seperti biasa memamerkan senyum tulus bak malaikatnya.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Ulu hatiku sedikit nyeri saat bangun tidur." Marc meringis karena di dalam tubuhnya seperti ada sesuatu yang mencengkeram jantungnya.
"Nona Gordon baru saja pergi. Dia wanita yang setia."
"Benarkah? Kukira tak ada yang menginap untuk menjagaku." Marc menyeringai pada Kepala Rumah sakit itu.
"Dokter, bagaimana jika aku dipulangkan saja?"
"Masih memikirkan soal biaya?" Marc mengangguk pelan. Ia tak punya sepeser uang pun sekarang. Marc juga tak ingin lagi merepotkan Tom dan Jade lagi di saat-saat terakhirnya seperti ini.
"Aku sudah mendengar ceritamu, Marc. Aku tidak akan tega meminta pembayaran mantan konglomerat yang sudah jatuh miskin seperti mu.
Apalagi... keluargamu sudah mencampakkanmu."Marc tertunduk lesu. Antara malu dan menyesal kembali.
"Tenanglah, jangan khawatirkan soal biaya. Jika ada pihak yang akan bangkrut, itu aku dan bukan kau. Jadi mohon balas balas budi padaku untuk tetap bertahan dan tidak putus asa dalam masa pengobatanmu. Kau mengerti?"
"Aku tahu Tuhan masih sayang padaku. Buktinya, ia memberiku malaikat penolong di antara karmaNya."
"Tuhan itu adil, Marc. Kau bahkan tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada hidupmu setelah ini."
Mengusap air matanya, Marc benar-benar merasa tidak lagi sendiri. Ia berTuhan, dan yakin bahwa hidupnya berada dalam kendaliNya. Mutlak.
"Pagi! apa aku melewatkan sesuatu?" Baik Marc dan Dokter Paulo menoleh, mendapati Tom berdiri di belakang mereka dengan cengiran tololnya.
"Kemana saja kau kemarin?"
"Hey, jangan dulu menyemprotku dengan kicauanmu. Aku sedang merasa bahagia hari ini." Tom menaruh bungkusan makanan yang ia beli. Rencananya akan memghabiskan setangkup atau dua tangkup hot dog bersama Marc. Tapi keberadaan Dokter Paulo mengubah rencananya.
"Baiklah kalau begitu aku harus keluar. Ada banyak pasien yang harus diurus. Ah, Tuan Felton, pukul 9 aku menunggumu di kantorku. Jangan lupa."
"Baik dokter." Tom mengantar Dokter Paulo sampai pintu kamar.
"Kenapa dia menyuruhmu datang ke kantornya?"
"Eum... dia ada sebuah proyek buku medis yang ingin di publikasikan."
Tentu saja pria pirang itu berbohong. Semalam dokter Paulo menelpon untuk membicarakan perawatan Marc yang harus segera mendapat tindakan intensif.
"Aku membawa hot dog panas, kau bosan dengan makanan rumah sakit yang lembek seperti tai bayi itu kan?" Tom membuka bungkus kertas hot dog itu untuk mengalihkan pembicaraan.
"Aku ingin dua tangkup sekaligus."
"Rakus sekali."
Mereka mengunci pintu dan menikmati beberapa tangkup hot dog bersama di dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
FanfictionCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...