Masih teringat jelas di benaknya saat sang ayah terang-terangan mengusir Marc ketika tahu menantu dan cucunya, Emma dan Lynn pergi. Jelas sekali mencampakkannya saat ia telah melakukan kesalahan fatal dengan Judith.
Lalu apa yang baru saja dikatakan Alex sore tadi? Kembali? Masihkah ada tempatnya di rumah keluarga kecil itu? Malah ia mempertanyakan nama belakangnya sekarang. Apa masih boleh ia memakai nama Marquez Alenta saat sudah di usir seperti ini?
Marc melirik mejanya. Sudah tiga botol alkohol yang tandas menemaninya di klub malam langganannya dan Marc masih kuat. Tiga hari pula si brengsek Tom Felton tidak mengunjunginya. Entah apa yang dilakukan pria itu sekarang.
"Ayo pulang, bodoh."
Seorang pria pirang berdiri menepuk punggungnya. Meski mata Marc sudah berair, ia tahu betul Tom memandangnya dengan pandangan tak suka.
"Kau masih hidup?" Tanya Marc sedikit mabuk.
"Itu pertanyaan untukmu seharusnya." Marc nyengir dan menghabiskan setengah gelas minumannya.
"Berhutang lagi?" Matt, sang bartender yang dikenal Marc mencibir. Dia tahu sekali reputasi pria beiris madu itu. Pengusaha muda kaya raya yang sudah melarat.
Tom menaruh kartu debitnya di meja.
"Pakai itu. Lunasi berapapun hutangnya, Matt."
"Tidak usah, Tom. Aku tidak mau mengemis."
Matt tidak ragu. Ia mencondongkan mesin ATM pada Tom untuk mengetikkan kata sandinya tanpa sekalipun menghiraukan ucapan Marc. Dia sudah hampir meledak karena melihat Marc terus mengisi tubuhnya dengan minuman keras.
"Thanks, Tom. Aku hampir kehilangan pekerjaanku karena harus membayar tagihan Marc."
Tom tersenyum simpul, masih tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Alex memang tidak tahu diri. Dia menyuruhku pulang."
"Cukup kau menghukum diri seperti ini, Marc." Marc tertawa pelan. Kepalanya menyandar pada jok mobil dan saat mobil meninggalkan pelataran basement, pria itu sudah tidur.
***
Tom memutuskan menginap setelah memastikan Marc tidur lelap di kamarnya.Malam kian merayap. Hening mendominasi aroma gelap yang berteman lampu-lampu jalanan. Mereka berdiri bersama, tetapi ruang kosong memberi jarak antara mereka.
Tom menutup pintu balkon kamar Marc, agar lelaki menyedihkan itu tidur tanpa merasa kedinginan. Kemudian dia mengambil tempat di sisi kanan Marc yang sudah terlelap.
Tangannya merogoh untuk mengambil ponsel pintar di saku celana. Siang tadi ia mengambil nomor ponsel Emma di biografi naskah yang dikirimnya. Namun sejak pulang dari kantor, ia hanya memandangi nomor itu tanpa berani menelpon.Di helanya nafas dalam-dalam dan mendial nomor Emma.
Detakan jamtung Tom sudah tidak karuan ketika mendengar nada sambung.Tak lama kemudian....
"Halo?" Tom tercekat. Tiba-tiba suaranya menjadi gagap.
"Em... emma?"
"Ya. Siapa? Maaf, ini sudah malam. Kalau tidak ada yang penting anda boleh menghubungiku besok pagi." Tom meringis. Emma tetap seperti sulu. Sama sekali tak ada yang berubah. Ketus.
"Ini aku... Tom."
"Tom? Tom Felton?"
"Eeh, iya. Maaf mengganggumu malam-malam."
"Yah, kalau kau tidak akan menerbitkan bukuku pasti aku sudah memarahimu habis-habisan."
Tom menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal.
"Ada apa kau menelpon?" Tanyanya di seberang sana.
"Ehm, aku ingin tanya. Besok hari minggu, apa aku boleh berkunjung ke rumahmu?"
"Kita bertemu di gereja St. Lucas pusat kota setelah itu kau boleh mampir."
Tom tertawa. Menertawakan dirinya sendiri karena melupakan kebiasaan yang tidak pernah hilang dari Emma Watson. Pergi ke gereja.
"Baiklah. Kalau begitu sampai jumpa besok. Selamat malam, Em."
Tom menutup teleponnya setelah ucapan "bye" dari Emma terdengar. Kemudian berpikir ulang apa yang akan terjadi besok jika bertemu suami Emma.
Bukankah itu hal yang akan membuatnya patah hati?"Kau menelpon gadis?" Tom menoleh. Marc menegakkan punggung, terjaga.
"Bukan. Seorang wanita."
"Hey, ayo ceritakan. Aku tidak pernah mendengarmu bercerita tantang wanita sebelumnya. Apa ini spesial?" Marc mengedip menggoda dengan aneh.
"Kenapa aku harus memceritakan hal ini pada pria mabuk?"
Marc mengerang sebal. Tom seharusnya hapal betul bahwa sekarang ia kuat menenggak 3 botol tanpa mabuk parah."Dia teman lamaku saat sekolah di sekolah senior. Dia gadis yang brilian, tegas, berpendirian kuat, dan cantik." Tom mengenang.
***
"Minggirlah sedikit. Aku tidak bisa melihat pertandingannya. Apa rambutmu tidak bisa menjinak sedikitpun?" Lelaki pirang platina muda mengerang sebal. Pasalnya gadis yang terkenal jenius ini menghalangi pandangan dengan rambutnya yang megar.
Lelaki itu Tom Felton, Si pirang kaya raya saingan terberat Emma Watson dalam segala bidang.
Mereka berdua layaknya air dan api. Seluruh London College School mengenal mereka yang bersaing dalam kejeniusan dan musuh bebuyutan.
"Carilah tempat lain." Emma menghardik.
"Tidak mau. Aku hanya imgin disini. Kau saja yang pindah."
Emma sudah memberengut sebal. Pasalnya, setelah cinta pertamanya ditolak mentah-mentah oleh Tom Felton, dia menutupi perasaan malunya sendiri.
***
"Siapa namanya? Ayo kenalkan padaku juga, Tom."
"Kau curang. Berapa lama kita berteman tapi kau sama sekali tak pernah mengenalkanku pada istrimu."
Marc terdiam. Sekali lagi ia mengingat Emma. Begitu mengingat wajah istrinya, hatinya yang lain teriris saat mengingat Madelynn.
"Maaf, Marc. Aku tidak bermaksud..."
"Hey, santailah bung. Tidak masalah." Tom tersenyum. Ia baru tahu bahwa lelaki yang menyesal akan lebih memyedihkan dari seorang wanita yang patah hati.
***
"Mom, aku tidak ingin memakai rok ini. Aku tidak akan bisa bebas berlari bersama temanku nanti." Lynn mulai merajuk ketika Emma menyuruhnya memakai rok santai dengan aksen renda di lengannya.
"Mom tidak suka kau melempar bajumu seperti itu. Jika kau ingin yang lain, maka pilihlah sendiri. Mom tidak suka dengan sikapmu, Lynn."
Dilihatnya dari sudut mata. Lynn terduduk di pinggiran kasur dengan wajah ditekuk.
"Kau ingin memakai apa?" Ucap Emma lebih lembut. Ia tahu karakter jelek ayahnya ketika merajuk tengah beraksi dalam diri Lynn.
"Aku ingin memakai celana dan kaos saja."
"Baik. Sekarang cuci kakimu dan segera kembali. Kita sudah terlambat ke Gereja."
Lynn melompat dan menuruti ucapan sang ibu.
"Mom, kapan ulang tahunku?"
"Beberapa hari lagi. Kenapa? Kau ingin meminta sesuatu?"
Madelynn mengangguk senang. Saat menatap wajah Emma, matanya berbinar.
"Ibu akan usahakan untuk mendapatkannya. Katakan."
Mulut Lynn terkunci karena merasa sulit untuk mengatakan permintaannya.
"Kau ingin sepeda baru? Atau apapun itu katakan saja."
"Kau janji tidak marah?"
Lagi, Emma tersenyum. Jika sedamg merajuk seperti ini gadis kecilnya berubah sangat menggemaskan."Aku ingin...." satu alis Emma terangkat menantikan kalimat selanjutnya.
"Aku ingin...."
***
Sory for typo yaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
FAR AWAY (Ketika Berpisah Menjadi Jalan Terbaik)
FanfictionCOMPLETE STORY "Musim Gugur akan mengajarkan kita. Bahwa tanpanya, Musim Semi takkan nenjadi seindah ini." Tentang kisah cinta sejati. Yang harus melupakan dan dilupakan. Tentang besarnya arti kesetiaan dan pengorbanan. Tentang menunggu dan harus me...