[4] Pohon Petai diatas Bukit

776 22 3
                                    

Beberapa orang enggan melewati jalan menuju kampung Gunung Mariah yang menghubungkan desa Batu Duapuluh (XX) dengan beberapa kampung lainnya selain Gunung Mariah. Yang membuat orang enggan untuk melewati jalan ini dimulai dari bubusan kedua dari simpang Batu XX yang gelap karena sinar matahari yang tidak berhasil menyibak rapatnya dedaunan pohon jati dan bambu-bambu di sekitarnya ditambah lagi jalannya yang berkelok-kelok, naik-turun melewati jembatan yang biasanya disebut orang desa 'Titi Akar'. Jembatan ini dinamakan Titi Akar karena konon jembatan ini ada karena akar-akar pohon yang saling mengikat dan menjadi titi (jembatan), begitulah cerita yang turun temurun diceritakan oleh para tetua di desa Gunung Mariah dan sekitarnya tersebut. Sepanjang jalan dimulai dari bubusan kedua hingga sampai ke desa Gunung Mariah, bambu-bambu dan pohon-pohon besar akan menyambut kedatangan orang-orang yang melewatinya di tambah lagi rumor tentang pohon petai tua besar diatas bukit yang kata orang-orang desa sangat berhantu. Setelah pohon petai tua itu terdapat sebuah tikungan yang langsung masuk kedaerah pekuburan, disini juga sering terdengar suara-suara aneh tetapi ketika di perhatikan ke arah suara tersebut berasal, tidak ada apa-apa. Menurut cerita beberapa orang, ada saja kejadian-kejadian janggal ketika melewati jalan seram ini.

Hari itu aku berjalan kaki pulang sekolah berhubung motorku sedang di bengkel. Aku baru pindah 2 bulan yang lalu di desa ini tetapi untuk berjalan sendirian dari simpang Batu XX ke desa, aku belum pernah. Aku berjalan melewati perladangan dan persawahan kemudian sampailah aku di bubusan kedua. Aku berhenti, menunggu kalau-kalau orang datang atau lewat aku akan memaksa untuk ikut tetapi nihil setelah setengah jam aku menunggu sementara hari sudah hampir sore. Hanya ada 2 pilihan, kembali dan menunggu jemputan atau terus berjalan. Tapi... jika aku kembali, ini sudah terlalu jauh, kalau aku teruskan, aku takut. Aku menimbang-nimbang 2 pilihan itu dan aku memutuskan untuk terus berjalan."Aku harus bisa mengatasi ketakutanku, jika memang ada sesuatu aku hanya harus lari. Jika itu hantu, aku harus....." Aku berhenti berpikir dan tanpa sadar aku terus berjalan. Jika itu hantu, aku harus.... yah entah lah. Masih baru akan aku pikirkan.

Aku hanya mendengar suara sepatuku yang menghantam aspal perlahan dan suara jangkrik serta serangga lainnya dibalik semak-semak pinggir jalan. "Ternyata tidak ada apa-apa" ujarku dalam hati. Angin sore membelai pohon-pohon sekitarku, menggerakkan rantingnya kesana-kemari seakan mereka melambai kepadaku, memberi sambutan. 'Ternyata tidak ada apa-apa' tapi situasi ini cukup membuatku jantungan. Jalan berkelok tajam kekanan kemudian kekiri lalu kekanan lagi dan aku sampai di tangkahan batu padas yang terletak jauh disamping kananku sedangkan samping kiriku adalah sungai yang mengalir ke arah tangkahan. Tidak pantas di sebut sungai, 'jurang' lebih tepatnya. "Disini saja gelap, apalagi jurang itu. Jika aku jatuh kesana, tidak akan ada yang menemukanku, tidak akan ada yang mendengarkanku andai aku masih hidup dan terjebak didalam sana" pikirku. Inilah, aku sudah berpikir yang tidak-tidak karena rasa takutku. Logisnya, apa mungkin ada orang yang mendorongku jatuh ke dalam jurang itu sementara aku hanya sendirian disini? Tapi jika aku yang telah kehilangan akal (gila), mungkin saja.

Aku terus berjalan dan sampai di jembatan yang disebut 'Titi Akar'. Dalam hati, aku berniat untuk melihat ke bawah jembatan itu tetapi dengan cepat niat itu ku buang jauh-jauh setelah membayangkan kengerian yang mungkin akan terjadi jika aku melakukan niatku tadi. Lelah mulai melandaku setelah berjalan di tanjak-an yang menurutku sudah berjam-jam dan tak tahu kapan sampainya. Dari sini, aku hanya mulai mendengar suara degup jantungku yang menjadi-jadi. Belum lagi bambu-bambu itu terus bergoyang kesana-kemari tak tentu arah, suara decitan bambu dan gesekan dedaunan terdengar ramai tiada henti. Aku mempercepat langkahku tanpa peduli lelah dan haus yang sudah hampir membunuhku. Bukan suara gesekan daun tetapi decitan bambu itu yang membuatku merinding dan ingin berlari. "Ngiik... ngikkkk,,,, ngiiikk....". Kakiku semakin berat dan nafasku tak beraturan, aku mulai gemetar. Aku berhenti, memalingkan kepalaku dan melihat kebelakang ketika mendengar suara seretan langkah kaki yang sepertinya mulai mendekat. Dan ternyata tidak ada apa-apa disana.

MisthorpathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang