Pt. 3

142 6 0
                                    

saat-saat kebingungan itu, Sri melangkah mundur, ia tidak sanggup lagi melihat gadis itu yg entah siapa dan kenapa ada disini, ia berniat mencari tahu, dan bertanya langsung kepada sopir yg mengantar mereka, sampai, langkahnya terhenti menakala, ia mendengar si sopir berbicara.

"gik, opo gak onok sing jelasno nang cah iku mau, kerjo opo nang kene, kok koyok'ane kaget ngunu" (Gik, apa gak ada yg ngasih tau mereka, pekerjaan apa yg sebenarnya di janjikan disini, kok tampaknya mereka terkejut sekali)

si sopir mulai bicara. "dereng mbah, ngapunten"

(belum mbah, maaf)

"awakmu langsung balik tah, gak mene a?" (loh, kamu mau langsung pulang tah, apa gak besok saja) tanya si mbah

"mboten mbah, mbenjeng kulo kudu ngantar ibuk" (tidak mbah, besok saya harus mengantar ibu)

"yo wes, ati-ati, ojok langsung muleh, wedine onok iku"

(ya sudah, hati hati, takutnya ada itu)

"iku" batin Sri, apa maksud kalimat itu, apa yg mengikuti sebenarnya, dan ada apa semua ini, banyak pertanyaan muncul dalam kepala Sri, sebelum, si mbah tiba-tiba bicara.

"metuo ndok, aku roh awakmu nang kunu" (keluar saja nak, saya tau-

-kamu ada disitu)

Sri melangkah keluar, melihat cahaya mobil mulai menjauh, pudar, lalu menghilang.

"celuk'en kancamu, ben ngerti, alasan kenek opo sedoyo onok nang kene" (panggil temanmu, biar mengerti, kenapa kalian ada disini)

Sri ' pun memanggil yg lain.

mbah Tamin duduk di sebuah kursi panjang, matanaya menerawang jauh di teras rumah gubuk, sementara Sri dan yg lain berdiri, siap dengan penjelasan tentang semua ini.

suasana hutan kian mencekam, setiap sudut pohon seakan hidup dan mengamati mereka, Sri merasa kecil di tempat ini

"aku isih iling, cah cilik ayu, ceria, ra nduwe duso" (aku masih ingat, anak kecil, cantik, ceria, belum punya dosa) "koyok jek wingi yo, tapi, cah cilik iku, sak iki, nang ambang nyowo, perkoro Santet menungso laknat!" (seperti baru kemarin rasanya, tapi sekarang, anak kecil itu

terbaring sakit, melawan kodrat nyawanya, hanya karena santet dari manusia biadab!!) wajah mbah Tamin menegang, kosakata kalimatnya seperti penuh amarah, membuat Sri dan yg lain begidik ngeri.

"cah cilik iku, Dela, yo iku, sing nang kamar"
(anak kecil itu Dela, dia yg di kamar)

"SANTET?" ucap Sri dan yg lain bersamaan

wajah Sri dan yg lain semakin menegang

"iyo, mangkane, cah iku, di gowo nang kene, disingitno, ben isok tahan, sampe ketemu Awulurane" (iya, karena itu dia di smebunyikan disini, biar bisa bertahan, sampai ketemu cara memasang santetnya)

"disingitno tekan sinten mbah" (di sembunyikan dari siapa mbah?) tanya Sri, yg semakin tertarik, seakan semua yg ada disini membuatnya penasaran.

mbah Tamin menatap Sri, matanya seakan tidak nyaman dengan pertanyaan itu.

"akeh sing rung mok erohi, luweh apik gak roh ae"

(banyak yg tidak kamu ketahui, lebih baik tidak tahu saja)

suasana menjadi hening sesaat, mbah Tamin mengambil sebuah kotak, mengambil sejumput daun kering dari dalam kotak itu, memelintirnya dengan kertas, sebelum menyesapnya kuat-kuat, asap mengepul dari mulutnya.

"sak iki, tak uruki tugas'e njenengan kabeh yo" (sekarang waktunya saya memberitahu tugas kalian disini)

mbah Tamin berdiri, ia seakan memberi tanda agar Sri dan yg lain mengikutinya. ia berjalan disamping sisi rumah, banyak sekali potongan kayu yg di susun, memang, rumah ini terlihat mengerikan, dengan pencahayaan yg hanya dari lampu petromax, selain itu, kegelapan, ada dimana-mana

ia berhenti tepat di belakang rumah, ada sebuah pagar bambu, dimana, di dalamnya, ada sebuah sumur, disana, tempat untuk mandi, dan tempat untuk mengambil air untuk kebutuhan hidup selama tinggal disini, termasuk, untuk basuh sudo (tubuh mati) Dela yg terbaring tak bergerak.

hanya Sri yg berinisiatif bertanya, terutama ketika soal memandikan itu, entah apa dan kenapa, Sri seakan tahu, cara memandikanya pasti tidak sama seperti cara memandikan orang biasa, hal itu, membuat mbah Tamin tersenyum, seakan mempersingkat penjelasan beliau tentang ini semua

"iyo, cara ngedusine, pancen onok tata carane, salah sijine, kembang pitung rupo" (iya, cara memandikanya, memang berbeda, ada tata caranya, salah satunya, bunga 7 rupa)

mbah Tamin menunjuk sebuah tempat khusus, dimana, ada bunga dengan rupa berbeda, di letakkan di atas tempeh

dengan cekatan, mbah Tamin mengisi baskom dengan air, mencampurinya dengan bebungaan itu, membawanya ke kamar tempat Dela tertidur

lalu, ia melihat Sri, memanggilnya, Dini dan Erna hanya mengamati saja

ia diminta mengikat tangan dan kaki Dela, Sri menuruti apa kata mbah Tamin

walau sebenarnya ia bingung, kenapa Dela harus diikat, setelah Sri menyelesaikan tugasnya, mbah Tamin baru membuka keranda bambu kuning itu, ia mulai membasuh badan Dela, Sri ikut membantu, dan disana, Sri menemukan fakta mengejutkan lain

perut Dela, membesar seperti mengandung

Sri yg membasuhnya, menatap mbah Tamin dengan tatapan bingung dan kaget, namun mbah Tamin tampak mengerti apa yg ingin Sri tanyakan, setelah selesai dengan semua itu, Keranda kembali di tutup, dan kain yg mengikat Dela di lepas satu persatu.

mbah Tamin melangkah pergi.

"mbah" kata Sri, mengejar mbah Tamin, di belakangnya ada Dini dan Erna yg tidak tahu apa yg baru Sri lihat

"engkok, tak ceritani, nek awakmu wes siap" (nanti saya ceritakan kalau kamu sudah siap saja) kata mbah Tamin, "tugasmu kabeh, ngurus Dela" (tugas kalian mengurus Dela)

MisthorpathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang