4 LL

196 6 0
                                    

belum selesai pembicaraan Agus, tiba-tiba, pintu depan di ketuk, 

"tok tok tok"

Ruslan dan Agus, menatap pintu, mereka terhenyak, Agus mendorong masuk anak itu ke kamar, menyembunyikannya di bawah ranjang,

Ruslan membuka pintu, ia melihat mbak Lastri, berdiri dengan parang 

wajah mbak Lastri, melotot, dengan senyuman segaris nyaris seperti menahan luapan amarah, di tangannya, mbak Lastri mengenggam parang

"ada apa lagi ya mbak" kata Ruslan, ia melihat gelagat mbak Lastri yg kemudian matanya menyapu isi dalam rumah, meski kakinya belum beranjak 

"ndelok Tekos kebon gak" (kamu lihat tikus kebun), mata mbak Lastri masih mencoba melihat-lihat isi rumah, namun, Ruslan menghalangi, wajah mbak Lastri semakin tidak enak untuk dilihat,

"minggir, ben tak pedote sikile" (minggir, biar ku potong kakinya) sahut mbak Lastri 

mbak Lastri mendorong Ruslan, dengan langkah kaki cepat ia menyibak tirai kamar tempat dimana Agus dan Ruslan biasa tidur, 

jantung Ruslan rasanya mau copot, terutama, ketika sorot mata mbak Lastri menatap tajam Ruslan setelah ia melihat isi kamar, 

"mati aku" batin Ruslan 

mbak Lastri berbalik, tapi sebelum melewati Ruslan, ia mengingatkan, "kancamu asline wes eroh, nek iku bakal mati kok, cuma sampekno, ojok jeru-jeru nek melu urusan sing gak dingerteni" (sebenarnya temanmu sudah tahu, dia akan mati kok, cuma sampaikan jangan terlalu ikut campur) 

Ruslan mondar-mandir sepanjang malam, jantungnya terus berdegup kencang, tidak ada Agus dan bocah itu dalam kamar, rokok pun habis, kepala Ruslan seperti ditusuk-tusuk, ia gelisah, berjam-jam, Agus dan bocah itu hilang, "kucur" (sensor)(kemana manusia-manusia itu) 

pintu terbuka 

Agus melangkah masuk, nafasnya tersenggal, badannya bermandikan keringat, ia langsung meneguk air dalam ceret sampai habis sebelum membantingnya

"GOBLOK!!" umpatnya saat melihat Ruslan, "Mati arek iku" (pasti mati anak itu)

Ruslan teringat ucapan mbak Lastri, ada apa sebenarnya 

Ruslan mendekati Agus, ucapan mbak Lastri dan Agus nyaris sama persis, namun, hanya dia yg belum memahami situasi, ia tampak berpikir, namun isi kepalanya sudah mentok, dengan pelan, Ruslan mengatakannya kepada Agus,

"maksudmu opo" (maksudmu apa)

Agus, mendelik menatap Ruslan, 

"aku bar ngekekno cah iku gok Lastri, ben arek iku isok urip" (aku mau memberikan anak itu kepada Lastri, biar dia bisa hidup), "tapi cah kui, malah mencolot gok jendelo" (tapi anak itu malah melompat lewat jendela), "langsung ae tak kejar, ben uripe jek dowo, kan eman"- 

(langsung saja, aku kejar, sayang hidupnya masih panjang)

Ruslan yg mendengarnya langsung bereaksi, "Stress koen Gus, sing onok, cah iku bakal di bacok ambek Lastri" (gila kamu ya, yg ada, anak itu bisa di potong sama Lastri)

"justru iku" "paling derijine tok sing dipedot" 

(justru itu, paling hanya jari-jemarinya yg dipotong)

Ruslan, semakin bingung. namun Agus mengerti, Ruslan belum mengerti, lantas, ia mengulangi ucapan yg pernah ia katakan itu lagi, agar, Ruslan ingat.

"jangan membuat masalah, diatas Tanah Tumbal, apalagi, untuk mencuri" 

"gimana gimana" kepala Ruslan seperti dibenturkan ke tembok, ucapan Agus terlalu berbelit

lantas, Agus duduk, ia memandang Ruslan, wajahnya tidak bisa dibaca, bahkan oleh Ruslan sekalipun, yg sudah mengenal Agus luar dalam

"nduwe rokok gak?"(punya rokok gak)

"gak" ucap Ruslan 

"aku tadi ngejar anak itu, kenceng banget larinya udah kaya kijang, dari situ aku jadi yakin, pasti ada apa-apa sama anak ini" Agus diam "anak ini disuruh oleh orang untuk melakukan sesuatu disini, hal yg paling bangs*t! adalah, anak itu tidak tahu, tanah apa yg ada disini" 

"dia ada yg nyuruh" sahut Ruslan, Agus mengangguk, 

"anak itu sudah ketahuan, pantas saja, itu pocong sampe ngumpul kaya tadi, ternyata, mereka nungguin anak ini" "masuk ke tanah tumbal, gak bisa seenaknya kaya gitu, harus dapat ijin yg punya, sedangkan, yg punya bukan Lastri" 

"lalu, hubungannya Lastri bawa parang apa?!" ucap Ruslan,

"dia mau nolong anak itu, kalau anak itu mau selamat, dia harus minta ijin sama yg punya tanah ini, tapi itu kan gak mungkin, jadi, Lastri akan ambil apa yg harus di ambil dari anak itu, yaitu, jari-tangannya" 

"kalau Lastri gak melakukan itu" Ruslan menatap Agus, ia melihat Agus menatap kosong apa yg ada didepannya, lantas ia berdiri, lalu masuk ke kamar

Ruslan langsung sadar, ia teringat dengan maksud kedatangan Lastri tadi, sekarang ia tahu, alasan kenapa mereka belum boleh pergi, 

pagi itu, berjalan seperti biasanya.

Agus tidak banyak bicara seperti sebelumnya, ia sudah bersiap menuju tempat kerja, Ruslan hanya mengawasi, ia tidak mau membahas kejadian semalam.

Agus melihat sebungkus nasi di meja "aku yg bungkusin makanan itu subuh tadi gus" kata Ruslan, 

setelah mendengar kata Ruslan, Agus baru mau membuka makanan itu, aneh. Agus yg sekarang dilihat Ruslan, seperti bukan Agus yg biasanya

"kenapa tadi diam, takut makanannya dari mbak Lastri, biasanya kan, langsung tau dari aromanya" canda Ruslan, yg tidak ditanggapi sama Agus

seusai Agus makan, mereka bersiap berangkat bersama, Agus masih tidak banyak bicara, namun, seperti tersentak, manakala baru keluar dari pintu, mbak Lastri berdiri di teras rumah, di tangannya, ia tengah memegang gagang sapu.

ia berdiri, tersenyum, menyapa mereka.. 

"ngeri" batin Ruslan, dilihat darimanapun, wajah mbak Lastri tidak memiliki emosi, matanya besar, hidungnya mancung, kulitnya sawo matang, dengan rambut disanggul, karismanya, membuat Ruslan sadar, Gundik'colo rupannya memang gila seperti cerita2 yg tersebar..

Ruslan menunduk 

baru juga Ruslan melewati mbak Lastri, Agus tiba2 diam berdiri di depan mbak Lastri, Ruslan ikut berhenti, ia menatap mbak Lastri yg memberikan sesuatu kepada Agus, namun, Agus buru-buru memasukkannya kedalam saku, seakan menyembunyikannya dari Ruslan, sorot mata Agus kaget 

"dia ngasih apa Gus" tanya Ruslan,
Agus hanya menggeleng, ia tetap berjalan, seakan mengabaikan Ruslan, kesal, Ruslan menarik tangan Agus, memintanya bercerita, terpaksa Agus mengambilnya dari saku celananya, ia, mengeluarkan setangkai bunga kamboja, Ruslan melotot menatap Agus 

MisthorpathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang