(Flashback 6 tahun yang lalu)
Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Ku teliti lagi beberapa catatan medik semua pasienku hari ini. Sesekali ku lihat arloji, dan berkali-kali pula aku membuang nafas penuh kegelisahan.
"Cieeee... Yang udah nggak sabar mau ngedate...", ledek Era, salah satu rekan kerja yang sudah seperti saudara sendiri bagiku. Aku cemberut sambil ku cubit pinggangnya. Dia tertawa terpingkal-pingkal sambil membalas cubitanku.
"Udah sana pulang gih... Pasti dokter Hani ngijinin deh, ini kan dating rekomendasinya dia kan...???", katanya sambil merangkul pundakku. "Serahkan saja laporan-laporan ini sama sohib ini, udah pasti beres, tenang aja... Lagian pasien post partun juga udah aman semua. Udah tunggu apa lagi...?", lanjutnya nyerocos sambil menyerobot buku laporan yang baru saja kuambil dari atas meja.
"Enak aja, aku ini karyawan teladan taun ini lho, masak mau lepas jaga sebelum habis jam? Enggak banget dong, lha emang kamu?", ujarku sambil merebut kembali buku laporan dan ku julurkan lidahku pada Era yang sudah bersiap mengejarku. Aku berlari menuju ruanganku dan kututup pintunya rapat-rapat. Tak ku hiraukan lagi teriakan Era dari luar sana.Aku mengerjakan laporan pasien klinik kebidanan tempat ku bekerja. Kulirik arloji sesekali sambil tersenyum meski sebenarnya hati ini sudah gelisah sekali. Ya. Bemar kata Era tadi. Hari ini aku akan bertemu dengan seseorang yang spesial. Mas Abimanyu. Seseorang yang ku kenal hanya lewat ponsel sejak sebulan yang lalu. Aku mengenalnya karena dokter Hani, dokter Obsgyn di klinik kami yang menperkenalkan kami berdua dengan bertukar nomor ponsel, pin bbm, sampai media sosial yang kami punya. Sebulan berlalu semenjak perkenalan itu, rasanya kami sudah berteman lama dan mulai saling memahami satu sama lain. Mungkin inilah yang membuat aku jadi sedikit gugup setelah semalam Mas Abi, begitu aku memanggilnya, mengatakan bahwa ia akan menemuiku.
Mas Abi adalah salah satu teman lama suami dokter Hani. Dia berprofesi sebagai pekerja offshore di salah satu perusahaan pelayaran di Dubai, Uni Emirat Arab. Hari ini adalah jadwal kepulangannya. Dia mempunyai masa cuti dua bulan dari kontrak kerjanya tujuh bulan yang lalu. Seperti kata-katanya di awal perkenalan kami kemarin. Begitu tiba di tanah air, orang pertama yang ingin ia temui adalah aku. Entah apa alasannya. Selama berkomunikasi sebulan ini, pembicaraan kami pun biasa saja. Tak lebih dari sebuah hubungan pertemanan, meski kami sedikit membubuhinya dengan sedikit perhatian. Tetapi entah mengapa begitu hari ini benar-benar tiba, pikiranku sungguh tak lepas dari bayang-bayangnya. Meski belum pernah sedetikpun aku bertatap muka dengannya.
***
Pukul 13.45 WIB. Aku mulai membereskan buki laporanku dan beralih ke tas ransel kecilku untuk mengambil bedak kecil yang selalu ku bawa kerja. Ku usapkan tipis-tipis bedak di atas wajahku yg sudah mula kusam karena bekerja seharian, tak lupa ku beri pemerah pada bibirku dengan tipis pula agar tak terlihat pucat.
"Vikaaaaa.... Dandaaaan mulu, buruaaan...", teriakan Era mengagetkanku hingga bedak dalam genggamanku hampir terjatuh. Aku menggerutu sambil keluar ruangan, ingin ku cubit lagi dia, geramku.
Kami berjalan dari satu ruangan pasien ke ruangan lainnya untuk operan jaga. Selanjutnya ku ambil tas ku dan aku beranjak keluar ruangan untuk segera pulang, eeh...tepatnya untuk pergi menemui seseorang.Langkahku begitu bersemangat hingga akhirnya terhenti karena suara seorang laki-laki yang memanggil namaku dengan lantang. "Arvika Amelya...". Aku menoleh. Sosok laki-laki berpostur tinggi dan berkulit putih dengan kemeja kotak-kotak merah menghampiriku. Dia tersenyum. Aku terpana beberapa saat sampai akhirnya ia mengulurkan tangannya kepadaku. Aku tersenyum malu seraya berkata,
"Mas Alam Abimanyu...?", tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
"Siapa lagi...?", balasnya balik bertanya sambil mengacak-acak rambutku. Aku mencubit lengannya. "Ah boong ah Mas Abi, katanya mau ketemu di resto?", tanyaku dengan nada sebal.
"Sengaja Vik, Mas mau bikin surprise buat kamu...", katanya sambil memencet hidungku.
"Ah nggak lucu ah...", ku balas dengan cubitan lagi di lengannya. Tetapi dia malah meraih tangannku dan digandengakannya tanganki pada pergelangan lengannya. Aku tersipu malu. Berani sekali orang ini, batinku. Ku tarik tanganku dan dia berkata, "Kalau kamu nggak mau nggandeng tanganku, aku mau terbang lagi ke Dubai", ancamnya dengan mimik serius yang membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Ku dorong tubuhnya dan aku berjalan didepannya tak menghiraukan dia yang geleng-geleng kepala sambil berkata,
"Awas kau Vika, ku pencet lagi hidung pesekmu itu...". Aku berlari menuju lift, ku lambaikan tanganku ke arahnya,
"Bye Mas Abi...", kataku masih di sela-sela tawa.
Tanpa berkata apapun, Mas Abi berlari mengejarku dan masuk di dalam lift bersamaku. Kami tertawa bersama di ruangan sempit itu. Lalu tanpa ku sadari, kami sudah keluar lift dengan tangan yang saling bertautan. Ku lihat dia tersenyum tetapi tak berani menatap wajahku. Aku juga tak mampu menolak, bahwa aku sudah terpesona dengannya, pada kesan pertama.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong [jangan] Ceraikan Aku
RomanceKisah perjalanan seorang wanita di tengah segala pahit dan getirnya cobaan hidup. Vika, perempuan muda yang menemukan cinta sejatinya pada Abi, sosok laki-laki idamannya selama ini. Mencintainya berarti dia siap dengan segala pengorbanan. Menghadapi...