Rasa kantuk menggelayutiku saat aku tiba di rumah sepulang dinas malam. Aku merebahkan tubuh di sofa ruang tengah dan menyalakan televisi. Ku seruput teh hangat buatan Ibu untuk sekedar meredakan rasa kantukku. Aku menggeliatkan badanku hingga berbunyi gemeretak di antara tulang-tulang punggungku. Sungguh lelah sekali tubuh ini.
"Nduk... Ada nasi goreng di meja makan, sarapan dulu ya kalo mau lanjut tidur...", kata Ibu sambil memijit-mijit pundakku.
"Vika nggak mau tidur Bu... Habis sarapan Vika mau ke rumah sakit. Mas Abi hari ini operasi kaki kirinya...", jawabku.
"Jadi, kamu sama Abi...", kata Ibu tertahan.
"Mas Abi mau melamarku Bu...", potongku.
"Kalau kamu bahagia, Ibu pasti bahagia...", Ibu merentangkan tangannya sembari duduk di hadapanku.
Aku memeluknya kemudian ku tatap matanya.
"Tapi sepertinya nggak semudah itu jalan kami Bu...", ucapku lirih.
"Cinta sejati nggak ada yang nggak butuh perjuangan Nduk... Kamu tau...", Ibu membetulkan posisi duduknya dan bersiap untuk cerita.
"Ibu sama Ayah dulu banyak sekali cobaannya. Hubungan kami banyak sekali di tentang oleh banyak orang. Itu karena suku kami yang berbeda. Tapi berkat kegigihan Ayah dan Ibu, kami berhasil membuktikan pada mereka kalo Ibu lah satu-satunya yang pantas mendampingi Ayahmu. Dan semua orang akhirnya mengakui itu. Jadi pesan Ibu... Kalo kamu yakin Abi adalah cinta sejatimu, jangan menyerah... Perjuangkanlah... Oke?", Ibu memberiku nasehat yang sepertinya akan menjadi nasehat tak terlupakan seumur hidupku.
Aku mengangguk dan bersandar dari pangkuan Ibu. Ibu membelai rambutku dengan lembut hingga aku terbuai. Dan tak butuh waktu lama, aku pun tertidur pulas dalam pangkuannya.
***
Drrr... Drrrr.... Drrrr
Aku tersentak.
Bunyi getaran ponsel di atas meja membangunkanku. Dengan mata setengah terpejam tanganku menelusuri meja berusaha menggapai sumber getaran itu. Kulihat samar-samar tulisan yang tertera di layarnya. Ada beberapa pesan BBM yang masuk ternyata. Ku baca beberapa pengirimnya, dan salah satu diantaranya adalah nama Alam Abimanyu. Mas Abi!!! Aku menepuk jidatku sendiri.Mataku terbelalak. Aku terperanjat ketika melihat arloji yang masih terpakai di tangan kananku. Jarumnya menunjukkan pukul 09.15 WIB. Astaga!!! Aku ketiduran!
Aku memanggil Ibu berkali-kali tetapi tak ada sahutan sama sekali. Ibu pasti sudah pergi berangkat ke kios, pikirku. Tanpa pikir panjang aku langsung beranjak ke kamar mandi untuk cuci muka karena waktu tidak memungkinkan untuk mandi. Setelah itu ku sambar tas ku dan aku bergegas menuju keluar. Sesegera mungkin aku menghidupkan motor dan berangkat ke rumah sakit.
Apa-apaan aku ini?
Kenapa bisa sampai ketiduran?
Apakah aku akan melakukan sebuah kesalahan lagi?Jarak antara rumahku dengan rumah sakit biasa aku tempuh selama 15 menit. Aku berdoa agar tidak ada kemacetan di sepanjang perjalananku ini. Dan sepertinya Tuhan mendengar doaku. Jalanan tampak begitu lengang tak sepadat biasanya. Aku begitu leluasa menambah kecepatan agar bisa segera sampai ke tujuan. Kalau jalanan sepi seperti ini, tidak akan sampai 15 menit aku pasti sudah tiba di sana. Aku hanya berharap agar aku tidak terlambat menemuinya, seseorang yang akan melamarku beberapa menit yang akan datang.
Tepat berada di lampu merah perempatan kota, sekitar satu kilometer dari rumah sakit, tiba-tiba aku merasakan kendaraanku sedikit oleng. Kupelankan lajunya dan kupinggirkan motorku di dekat trotoar. Aku segera turun dan memeriksanya. Berharap tak ada masalah yang berarti dengan motorku.
Namun nasib berkata lain. Kulihat roda ban depan motorku kempes hingga tak bersisa. Kulirik arloji, masih ada waktu 10 menit lagi. Kulihat sekeliling, tak ada satu pun bengkel yang terlihat. Aku lemas.
Ya Tuhan!!!
Apa lagi ini???Aku mengambil ponselku dari dalam tas. Bermaksud untuk menghubungi Mas Abi. Berkali-kali kuhubungi nomornya tetapi tetap tak ada jawaban. Kemudian aku membuka pesan BBM darinya yang belum sempat kubuka tadi. Betapa terkejutnya aku karena Mas Abi ternyata mengirimiku foto sebuah cincin yang sedang ia pegang. Cincin emas putih berhiaskan mutiara bening di tengahnya. Kubaca pesan dibawahnya.
"Tak sabar melihatmu memakainya Sayang... Kuharap kamu sudah ada di depan ruang operasi sebelum aku tiba di sana".
Kudekap ponselku didada beberapa saat sebelum akhirnya aku dikagetkan oleh suara klakson mobil yang berada tepat di hadapanku.
"Vika... Ngapain kamu disitu???", aku berdiri memastikan siapa pemilik suara di balik jendela mobil itu.
"Era!!! Pas banget kamu datang!!!", ujarku sambil melonjak karena tak kuasa menahan kegembiraan.
"Katanya jam 10 Mas Abi masuk ruang operasi? Kok kamu malah masih di sini?", tanyanya keheranan sambil turun dari mobil dan menghampiriku.
Aku hanya tersenyum kecut sembari menunjukkan ban motorku yang kempes padanya.
"Yaudah ayo buruan masuk mobilku!", katanya sambil menarik tanganku.
"Trus motorku? Nggak mungkin kan ditinggal begitu aja?", tanyaku sambil menarik kembali tanganku yang sedang dipegangnya.
"Serahkan saja padaku Nyonya Abimanyu...", Anton, pacar Era tiba-tiba turun dari belakang kemudi dan menghampiri kami. Dia melemparkan kunci mobilnya pada Era.
"Tuh kan? Ayo buruan...", Era kembali menyeret tanganku.
Mataku berkaca-kaca. Aku menatap Era dan Anton bergantian. Bibirku tak mampu berkata terimakasih. Tetapi nampaknya mereka mengerti maksudku. Era mendorong tubuhku agar segera naik ke mobilnya. Dan dia segera mengambil alih kemudi. Membantuku mengejar waktu.
Sepanjang perjalanan aku tak berhenti untuk melirik jam dan terus mencoba menghubungi Mas Abi. Tetapi nampaknya ponsel Mas Abi sudah tidak aktif sedari tadi.
"Udah... Kamu nggak usah terlalu panik Vik... Bentar lagi nyampai...", Era mencoba menenangkanku. Aku hanya mengangguk. Aku benar-benar sudah tidak bisa tenang lagi sekarang. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Tetapi tak lama kemudian aku bisa bernafas lega ketika kulihat gedung putih bertingkat itu sudah tampak dari kejauhan.
"Udah sampe sini aja Ra... Biar aku kesananya jalan kaki, daripada kelamaan antre masuk parkiran", kataku sambil bersiap-siap untuk turun.
"Yakin kamu Vik...?", tanya Era.
Aku mengangguk. Kemudian aku turun dari mobil Era dan mengucapkan terimakasih atas segala bantuannya. Sungguh jika tak ada Era dan Anton, mungkin aku tak akan bisa sampai disini tepat pada waktunya.Rumah sakit sudah ada di seberang jalan. Aku berjalan di antara kendaraan yang berlalu lalang sambil sesekali berhenti menunggu jalanan sepi untuk menyeberang. Setelah jalanan ku rasa sudah sepi, aku menyeberang dengan hati-hati. Kusempatkan untuk menoleh ke arah Era untuk sekedar melambaikan tangan.
Dan tiba-tiba... BRAAAKKK!!!
Aku merasakan benda keras menyentuh badanku. Tubuhku seketika limpung dan aku merasa terpental cukup jauh bersamaan dengan teriakan Era. Aku berusaha tetap membuka mataku. Aku harus tetap bangun dan berjalan menuju pintu rumah sakit. Ingin ku angkat tanganku untuk melihat arloji. Namun tanganku rasanya kaku dan nyeri hingga aku tak bisa mengangkatnya. Aku merasakan mataku yang ingin sekali terpejam. Tetapi aku berusaha untuk tetap membuka mata meski suara teriakan Era lambat laun mulai samar tak terdengar. Ku buka mulutku untuk memanggil Era, juga memanggil Mas Abi. Namun suaraku tercekat, aku hanya bisa berbisik saja.
Kemudian semuanya menjadi gelap. Hanya sayup-sayup suara teriakan orang-orang yang makin lama makin memudar, tak terdengar.
Lalu hilang...
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong [jangan] Ceraikan Aku
RomanceKisah perjalanan seorang wanita di tengah segala pahit dan getirnya cobaan hidup. Vika, perempuan muda yang menemukan cinta sejatinya pada Abi, sosok laki-laki idamannya selama ini. Mencintainya berarti dia siap dengan segala pengorbanan. Menghadapi...