Aku datang ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Sepanjang perjalananku menuju kesini tadi, hanya wajah Mas Abi yang terus membayangiku. Seperti apa keadaannya sekarang? Mampukah aku menepati janji Om Suryo untuk memberi Mas Abi semangat lagi setelah apa yang telah ku lakukan padanya? Marahkah dia nanti ketika melihatku? Ah sungguh banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam benakku. Dan yang paling kipikirkan adalah bagaimana tanggapan Tante Rani atas kedatanganku nanti?
Aroma rumah sakit makin tercium di hidungku. Tak terasa aku sudah berada di depan ruangan Mas Abi. Kuketuk pintu perlahan dengan perasaan yang makin gelisah. Om Suryo membukakan pintu dan menyalamiku.
"Terimakasih Vika... Akhirnya kamu datang juga.. Ayo silakan masuk. Abi sedang tidur...", sambutnya.
Aku mengangguk lalu melangkah masuk ke dalam ruangan. Kulihat Tante Rani sedang duduk di sofa sambil menatap ponselnya. Aku mendekati dan bermaksud menyalaminya.
"Siang Tante...", sapaku dengan mengulurkan tangan kepadanya.
"Ya...", balas Tante Rani tanpa sedikitpun bergeming dan mengalihkan pandangan terhadap ponselnya. Kutarik kembali tanganku."Gimana keadaan Mas Abi Tante...?", tanyaku.
"Kamu lihat saja sendiri.", jawab Tante Rani dengan nada ketus.Aku berjalan mendekati Mas Abi. Dia tampak sedang tertidur pulas. Hingga tak tega aku membangunkannya. Aku kembali duduk di samping Tante Rani.
"Jika bukan karena permintaan suami saya, saya tidak akan pernah mengijinkan kamu berada disini. Saya beri kamu kesempatan sekali ini saja. Tapi ingat! Tujuan kamu datang kesini adalah karena kamu harus bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa anak saya. Hanya untuk kesembuhannya. Tidak lebih! Jangan kamu pikir ini adalah lampu hijau untukmu menaklukkan anak saya!!!", ucap Tante Rani sembari berdiri dan meninggalkan ruangan.
"Jangan kau ambil hati perkataan istri saya Vika... Biar nanti Om yang bicara padanya. Kamu istirahat dulu sambil menunggu Abi bangun...", kata Om Suryo sembari meninggalkan ruangan.
Kugeserkan kursi disamping sofa ke dekat ranjang Mas Abi, kemudian aku duduk di atasnya. Mataku tak lepas memandangi sosoknya. Tubuhnya tampak lebih kurus dari kemarin. Wajahnya pucat dengan balutan perban di pelipis dan dagunya. Kedua kakinya terbalut perban yang sangat tebal. Dan dua selang infus mengalir di pembuluh darah kedua tangannya.
Ya Tuhan... Betapa menderitanya dia!
Ku sentuh jemari tangannya. Dingin. Tak sehangat beberapa waktu lalu saat menggenggam erat tanganku. Ku pegang jemari tangannya dg kedua tanganku, ku cium dan ku dekap erat.
"Maafkan aku Mas... Mas harus sembuh. Harus semangat lagi Mas...", kataku perlahan sambil mendekap tangannya. Lalu kutatap wajahnya. Ku sentuh perlahan. Rona wajah cerianya sudah tak ada lagi. Yang ada hanyalah raut wajah penuh dengan kesakitan. Dan semua ini gara-gara aku. Aku benar-benar sangat merasa bersalah atasnya.
Tak terasa airmata yang sedari tadi menggenang akhirnya pun luruh juga. Menetes hingga membasahi pipi Mas Abi. Aku segera mengusapnya. Dan ternyata itu membangunkan tidur Mas Abi. Aku sedikit cemas. Ku lihat dia mulai membuka mata. Aku hanya terdiam, menunggu reaksi apa yang akan ditunjukkan Mas Abi ketika melihatku disini. Aku takut. Dia membuka mulutnya dan berkata lirih sekali.
"Apa aku sudah di surga?"
Itulah kalimat lirih yang dia ucapkan.
Aku mendekat.
"Mas ngomong apa? Mas baru bangun tidur...", jawabku sambil tersenyum.
"Oh... Kirain aku udah mati. Baru kali ini aku bangun tidur di depanku ada bidadari..."
Ah... Dalam keadaan seperti ini pun dia masih saja bercanda. Dia tak tahu betapa setengah mati aku mengkhawatirkannya. Ku cubit lengannya perlahan. Dia tersenyum. Pipinya agak memerah meski raut pucatnya masih tak bisa disembunyikan.Mas Abi mengangkat tangannya berusaha meraih wajahku. Aku mendekatkan wajahku padanya. Kubiarkan dia menyentuh pipiku. Aku menangis penuh haru. Mas Abi mengusap airmataku perlahan. Aku makin terisak.
"Jadi Papah bilang apa ke kamu? Apa dia menakut-nakutimu bilang kalo aku mau mati lantas kamu percaya dan akhirnya mau datang kesini?", tanyanya sambil menyentuh hidungku, hal yang biasa dia lakukan ketika menggodaku. Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Tangisku malah makin menjadi.
"Aku nggak papa... Makasih ya.. Aku sudah sembuh sekarang. Bahkan sejak pertama kali aku membuka mataku tadi...", lanjutnya.
Tangisku pecah. Ku tempelkan wajahku di dadanya. Mas Abi membelai rambutku, membiarkan tangisku pecah dalam pelukannya. Kemudian setelah tangisku reda, aku bangun dan mencium lembut pipinya.
"Maafkan aku Mas... Aku..."
"Aku apa...?"
"Aku mencintaimu..."
Ucapku lirih.
Mas Abi mengangkat wajahku. Dia menatapku lekat-lekat.
"Bahkan jika keadaanku seperti ini kamu masih mencintaiku?", tanya Mas Abi dengan mimik wajah serius. Aku mengangguk segera."Aku mencintaimu dalam keadaan apapun Mas...", jawabku tegas. Kemudian Mas Abi menggenggam erat tanganku.
"Lihat kedua kakiku... Aku nggak kayak dulu lagi Vik... Aku nggak bisa jalan. Akan butuh waktu lama buat kembali seperti semula. Aku cacat sekarang Vik... Pikirkan dulu. Kamu benar mencintaiku atau kamu hanya kasihan sama aku?", Mas Abi melepaskan genggamannya dan memalingkan wajahnya dariku.
Kudekatkan lagi wajahku padanya. Aku berbisik di telinganya.
"Aku akan berada disisi Mas sampai Mas bisa kembali seperti dulu lagi. Aku akan menemani Mas sampai Mas sembuh. Apa Mas nggak percaya sama aku?", kataku lirih tepat di depan telinganya.
Mas Abi berbalik menghadapku. Wajah kami sangat dekat sekali. Wajah yang selama ini hanya ada dalam angan-angan, kini ada tepat di hadapanku.
"Menikahlah denganku. Hanya itu yang menyembuhkanku. Arvika Amelya, menikahlah denganku...", ucap Mas Abi tepat di hadapanku.
Seketika tubuhku menggigil berkeringat. Mulutku terkunci, lidahku tercekat. Bukankah ini kalimat yang selalu kutunggu-tunggu darinya? Dan akhirnya terucap sudah dari bibirnya? Betapa bahagia aku mendengarnya... Tetapi bayangan Tante Rani dan segenap kata-kata yang beliau sampaikan kepadaku beberapa saat yang lalu seakan siap menghapus rasa bahagiaku ini.
"Tetapi Tante Rani...", suaraku terputus.
"Mamah hanya ingin anaknya bahagia, dan aku tidak akan pernah bahagia kalo nggak ada kamu Vika...", kata Mas Abi.
Aku tak mampu bersuara. Kutundukkan wajahku."Tatap mataku. Jawab pertanyaanku. Apa kamu bisa hidup bahagia tanpa aku Vika?".
Aku mengangkat wajahku dan kutatap lekat matanya. Mata yang teduh. Mata yang didalamnya menyimpan sejuta kebahagiaan untukku. Dan aku tak bisa memungkiri bahwa aku tak mau kehilangan tatapan mata itu. Mata yang seakan berbicara, mengingatkanku pada kebohongan yang pernah aku lakukan padanya beberapa waktu yang lalu. Saat aku mengatakan bahwa aku tak ingin bertemu dia lagi. Sungguh aku tak ingin mengulanginya lagi. Aku tak bisa berbohong lagi kali ini.
Aku menggeleng dan berkata, "Hidupku akan lebih sempurna kalo ada kamu disampingku Mas... Aku menc....", belum selesai aku bicara, Mas Abi menutup bibirku dengan jari telunjuknya. Tangannya memegang kepalaku dan mendekatkan wajahku pada wajahnya.
"Temui aku besok di depan ruang operasi jam 10 pagi. Aku akan melamarmu dihadapan semua orang sebelum aku masuk ke ruang operasi. Jika jawabanmu 'iya', setelah selesai operasi aku akan menikahimu. Jika jawabanmu 'tidak', jangan pernah menemuiku lagi. Aku...", kali ini aku yang menutup bibirnya dengan.telunjukku.
"Sudah... Jangan banyak bicara...", ujarku. Kemudian Mas Abi menurunkan telunjukku dari bibirnya. Mendekatkan wajahku pada wajahnya sampai hidung kami bersentuhan.
Mataku terpejam. Tak ada lagi yang bisa kurasakan saat itu. Kecuali kecupan lembut bibir seorang laki-laki yang sangat kucintai melekat erat pada bibirku.
Aku sangat bahagia. Meski aku tahu ini bukanlah akhir cerita kami. Melainkan sebuah awal perjuangan yang baru saja kami sepakati.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong [jangan] Ceraikan Aku
RomanceKisah perjalanan seorang wanita di tengah segala pahit dan getirnya cobaan hidup. Vika, perempuan muda yang menemukan cinta sejatinya pada Abi, sosok laki-laki idamannya selama ini. Mencintainya berarti dia siap dengan segala pengorbanan. Menghadapi...