Dalam gelap dan hampa...

2.3K 110 20
                                    

Gelap.

Aku memejamkan mataku. Ku usap dengan kedua tanganku kemudian ku coba untuk membukanya lagi.

Masih sama. Gelap.

Aku berusaha bangun dan melihat apa yang telah terjadi. Tetapi rasa pusing dan nyeri di kepalaku membuatku tak kuasa untuk melakukannya.

"Nduk...", aku mendengar suara Ibu memanggilku.
"Vikaa.. Kamu sudah sadar?", Era memanggilku juga.
"Apa yang terjadi denganku?", tanyaku dengan sedikit berteriak.
"Aku nggak bisa liat apa-apa Bu... Semuanya gelap Ra... Ada apa ini???", tanyaku gugup sambil meraba-raba segala yang bisa kusentuh.

Ibu memelukku tak kuasa menahan tangis. Begitu pula dengan Era. Aku semakin tak mengerti dan terus mengusap kedua mataku berharap aku bisa melihat mereka.

"Oh... Aku inget... Aku baru saja tertabrak mobil. Aku terpental ke seberang jalan saat mau menyeberang Bu... Iya... Aku sangat ceroboh... Aku tergesa-gesa Bu.. Karena aku... Ya Ampun!!! Mas Abi...!!! Mas Abi gimana Ra? Sudah masuk ruang operasi? Apa aku terlambat Ra? Era!!! Jawab aku Ra...", aku berusaha melepaskan pelukan Ibu dan Era.

Era tak menjawab. Dia malah makin mengeraskan suara tangisannya. Ibu mengusap lembut pipiku.

"Astaga!!! Bu... Apa aku... A-a-apa m-ma-ta-ku... Ibu... Apa yang terjadi dengan mataku Bu?", aku berteriak sambil terus mengedip-ngedipkan kedua mataku. Berharap ada setitik cahaya yang tertangkap retinaku. Tetapi semuanya tetap gelap.

Ku dengar Ibu terus menangis terisak-isak.
"Era... Jawab aku... Apa aku akan menjadi buta?", tanyaku sambil memegangi tangan Era. Kemudian Era menggenggam tanganku.

"Vika... Tenang... Kendalikan dirimu... Ini hanya sementara Vik... Ini karena trauma kepalamu yang terbentur sangat keras kemarin. Kamu nggak sadar dua hari Vik...", Era berusaha menjelaskan disambut tangisan Ibu yang makin menjadi.

"Gimana operasinya Mas Abi?", tanyaku.
"Aku sudah kesana kemarin, tapi Mas Abi sudah masuk ruang operasi. Hari ini aku juga kesana, tapi kata perawat Mas Abi tidak boleh ada yang bezuk kecuali keluarganya. Itu pesan Mas Abi sendiri sama perawat ruangannya. Biar besok aku..."

"Nggak usah Ra..."
"Maksud kamu?"
"Udah... Kamu nggak perlu lagi kesana... Berjanjilah padaku..."
"Janji apa Vik?"
"Berjanjilah jangan menemui Mas Abi. Rahasiakan tentang semua ini padanya. Mungkin ini memang jalan kami berdua. Kami memang nggak berjodoh. Dari awal seharusnya aku menyadari. Aku terlalu memaksakan diri memang... Sekarang aku bener-bener sudah nggak pantas untuknya...", ucapku bersamaan dengan jatuhnya airmataku.

"Tapi Nduk...", sanggah Ibu.
"Nggak Bu... Ini yang terbaik... Mas Abi memang cinta sejati Vika, tapi kadang cinta sejati itu nggak harus bisa bersama...", tambahku sambil mengusap airmata.

Ibu dan Era semakin mendekapku erat. Aku berusaha sekuat mungkin untuk terlihat tegar di hadapan mereka. Meski rasanya hati ini begitu hancur dan sakit. Melebihi sakitnya luka di sekujur tubuh ini.

                                ***

Sudah hampir satu minggu aku berbaring di rumah sakit dalam kegelapan. Hampa sekali rasanya. Serangkaian pemeriksaan telah aku jalani selama seminggu ini. Mulai dari pemeriksaan rontgen, CT-Scan bahkan MRI. Operasi mataku sudah dijadwalkan dokter satu bulan yang akan datang sembari menunggu keadaanku fit terlebih dahulu.

Banyak yang datang kesini menjengukku seminggu ini. Beberapa sanak saudara dan juga rekan kerjaku. Tentu saja, semua rekan kerjaku pun aku suruh untuk merahasiakan keadaanku pada Mas Abi. Banyak yang tak kuasa menahan tangis ketika melihat keadaanku sekarang ini. Tetapi aku tetap berusaha kelihatan tegar di mata mereka.

Tolong [jangan] Ceraikan AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang