"Mas... Mas Abi... Jangan tinggalkan aku... Mas... Aku nggak bisa hidup tanpamu... Mas... Mas Abi..." tangisku makin pecah sambil meraung-raung menyebut namanya.
***
Alan POV
Dadaku sesak. Hatiku seperti di cambuk belati. Ketika aku melihat Vika menangis dan matanya menyiratkan kepiluan. Sungguh aku tak bisa melihatnya lebih menderita lagi. Segera ku rengkuh badannya yang telah basah kuyup karena derasnya air hujan.
Dia menyambut pelukanku. Membenamkan kepalanya ke dalam dadaku. Dia memelukku seolah dia benar-benar membutuhkanku saat ini. Aku semakin merengkuhnya, mendekapnya seerat mungkin karena aku benar-benar tak ingin melihatnya kembali terluka. Karena bagiku, setiap isakan tangisnya adalah belati yang mencambuk hatiku.
""Mas... Mas Abi... Jangan tinggalkan aku... Mas... Aku nggak bisa hidup tanpamu... Mas... Mas Abi..."
Dan ternyata hal yang lebih menyakitkan adalah ketika orang yang ku cintai menyebut nama orang lain saat aku memeluknya.
Dari ini aku benar-benar bisa memahami perasaan Vika. Aku sadar bahwa Vika sangat mencintai Abi. Dia benar-benar tak mau berpisah dengan Abi. Aku pun mulai menyadari bahwa kehadiranku ini adalah sebuah kesalahan besar dalam hidup mereka. Aku lah yang menyebabkan semua ini.
Vika masih terus memanggil-manggil nama Abi di dalam benaman dadaku. Membuat air mataku tak terasa membanjiri pipiku bersamaan dengan air hujan. Aku semakin mempererat pelukanku pada Vika sedangkan otakku memikirkan laki-laki yang amat dicintai perempuan ini.
Setan apa yang telah merasuki hati Abi. Bagaimana mungkin dia bisa menyakiti hati perempuan sebaik dia. Apakah memang dia benar-benar sudah tak mencintai Vika lagi? Sampai ia tega mengucapkan kalimat yang tak sepantasnya ia ucapkan pada Vika. Aku mengecup puncak kepala Vika perlahan. Dan sepertinya dia pun mulai meregangkan pelukannya hingga akhirnya melepaskannya.
"Al--Al--Alan...??!!", ucapnya terbata-bata sambil menatapku.
Aku hanya diam tanpa ekspresi dan sudah tau apa yang pasti akan terjadi. Dia pasti akan marah, atau bahkan dia akan lari meninggalkanku.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Vika kembali memelukku. Tangisannya kembali pecah dalam dekapanku. Aku dapat merasakan kesakitannya saat ini. Kubiarkan dia terisak sampai tak terasa hujan telah mereda dengan sendirinya.
"Ma--maafkan aku Lan... Nggak seharusnya aku...", ucapannya segera ku putus.
"Nggak papa... Aku ngerti... Ayo aku anter pulang...", kataku lirih sambil membawakan kedua tasnya.
Tanpa dikomando, aku pun pergi menuju mobilku dan Vika mengikutiku di belakang. Dia terlihat sangat berantakan dan aku sangat benci itu.
Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam tanpa saling bicara apapun. Sesekali aku meliriknya. Dan yang membuat aku semakin tersiksa adalah ketika dia diam-diam menangis sambil mengelus perutnya.
Shit!
Dia tak seharusnya merasakan seperti ini!
Batinku berperang antara aku harus melawan rasaku padanya, dan bagaimana caraku agar bisa menyatukan Vika dan Abi kembali.
Berulang kali aku membuang nafas kesal tanda pikiranku mulai buntu.
"Lan... Maaf... Aku melibatkanmu dalam urusanku...", Vika mulai mengajakku bicara.
Dan aku hanya menanggapinya dengan dengusan lembut.
Sial! Dalam keadaan seperti ini pun, dia masih saja beranggapan kalau dia lah yang salah! Tak bisa kah kau bangkit dan tinggalkan saudaraku yang brengsek itu? Batinku.
"Lan... Kenapa diam saja? Kamu marah sama aku?", tanyanya lagi.
Marah? Ini bukan marah lagi Vik!!! Tapi kau sudah membuatku gila! Kau sudah membuatku gila dengan melihatmu menangis dengan sorot mata seperti ini. Sorot mata yang sama seperti tiga tahun yang lalu saat aku meninggalkanmu. Sorot mata yang membuatkun tidak bisa tidur selama bertahun-tahun. Sorot mata yang membuatku tak bisa melupakanmu barang sedetik saja hingga aku menolak semua perempuan yang mendekatiku dulu. Dan kau tanya aku marah padamu? Tidak! Aku bahkan sudah gila karenamu! Batinku lagi.
"Alan... Turunkan aku disini!", katanya setengah berteriak membuatku tersentak.
"Apa-apaan kamu Vik...", hardikku.
"Turunkan atau aku mau lompat!", mendengar ancamannya, tanganku reflek meraih tangan Vika dan menariknya.
Karena tarikanku yang agak keras, badan Vika terhuyung dan jatuh di dadaku bersamaan dengan suara decitan rem yang kuinjak mendadak ini.
Vika menangis lagi. Dalam pelukanku lagi. Dan aku membiarkannya.
"Vik... Kalau ini memang sakit banget, tinggalkan dia... Lupakan dia... Ikutlah denganku..."
Oh my God!
Apa yang baru saja kukatakan? Kenapa kalimat bodoh itu tiba-tiba keluar dari mulutku ini? Aku merutuki diriku sendiri.
Vika melepaskan pelukanku dan menghapus air matanya.
"Nggak Lan... Ini memang sakit banget... Tapi aku yakin ini hanyalah ujian untuk cinta kami. Aku tau Mas Abi pasti tidak sungguh-sungguh berkata padaku seperti itu tadi. Bahwa dia akan menceraikanku. Aku sangat yakin kalo dia masih sayang sama aku. Jadi... Aku akan memperjuangkan ini semua Lan... Demi dia...", katanya sambil tersenyum serta mengelus dan memandangi perutnya.
Aku tersenyum pahit.
"Dan bahkan kalo Abi tetap akan menceraikanmu?", tanyaku sambil membuang muka.
"Aku akan berusaha agar hal itu tak akan terjadi...", jawabnya pelan.
Aku hanya membuang nafas panjang sambil melajukan mobilku kembali menuju rumah Vika.
Batinku berperang.
Kenapa perempuan ini keras kepala sekali? Batinku.
Namun aku sadar. Aku tak berhak mengaturnya. Apalagi menentukan jalan hidupnya. Hanya satu yang harus aku lakukan untuk dia. Yaitu bertanggung jawab atas apa yang saat ini telah menimpanya. Entah apa dan bagaimanapun caranya nanti.
***
TBCMaaf ya dikit bgt, ini ngetiknya tengah malem, sambil jagain anak demam, sambil gonta ganti kompresan anak, biar nggak ngantuk n ketiduran, mending update wattpad. Semoga suka.
Yg ngga sabar Abi POV, inshaallah next chapter ya...
Jangan lupa vomment 😊😊😊 Thankyou
![](https://img.wattpad.com/cover/96066875-288-k59723.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong [jangan] Ceraikan Aku
Любовные романыKisah perjalanan seorang wanita di tengah segala pahit dan getirnya cobaan hidup. Vika, perempuan muda yang menemukan cinta sejatinya pada Abi, sosok laki-laki idamannya selama ini. Mencintainya berarti dia siap dengan segala pengorbanan. Menghadapi...