2 hari setelah Vika operasi...
Bagas POV
Sudah dua hari ini aku bolak-balik rumah Om Suryo dan rumah sakit karena memenuhi janjiku pada Abi untuk menjaga Vika. Untuk sekedar mengetahui perkembangan dan melihat kondisinya. Sejak keluar ruang operasi dua hari yang lalu, Vika belum sadar juga. Malah sekarang dia dipindah ke ruang ICU. Entahlah... Apa yang sebenarnya terjadi pada Vika.
Ibu sering kali melamun dan tak jarang pula menangis sendirian. Aku tak tega meninggalkan dia sendirian di rumah sakit menjaga Vika. Om Suryo pun sering kemari di sela-sela waktu kantornya yang padat. Tetapi tidak dengan Tante Rani dan Ajeng.
Hari ini aku datang agak pagi, karena sesuai jadwal, dokter yang menangani Vika akan datang dan memberikan sedikit penjelasan tentang kondisi Vika saat ini. Setidaknya aku bisa memberi informasi pada Abi yang sehari hampir sepuluh kali telpon menanyakan keadaan istrinya.
Ya Abi begitu mencintai Vika. Meski aku tak tau apakah rasa cintanya sebesar rasa cintaku apa tidak. Ah... Dan bagaimana mungkin aku bisa mengatakan bahwa istrinya adalah gadis yang kuceritakan padanya dulu. Gadis yang selalu membuat janjiku ketemuan dengan Abi batal. Gadis yang dibilang Abi 'pengganggu' karena saat kami sedang asyik main playstation, aku rela mengakhirinya demi menemui gadis itu. Gadis yang membuat aku tergila-gila dulu. Bahkan sampai sekarang...
Sesampainya di rumah sakit aku disambut pemandangan Ibu yang sedang mondar mandir di ruang tunggu terlihat kebingungan. Segera ku hampiri dia.
"Ada apa Bu? Apa dokter sudah datang?", tanyaku sambil memegangi pucuk bahu Ibu.
"Sudah Nak, ini baru masuk ke ICU...", jawab Ibu lirih.
"Ya udah... Kita tunggu aja disini Bu... Ibu tenang ya...", kataku.
Ibu mengangguk lalu kami duduk di kursi depan ruang ICU. Menanti dokter keluar dari ruangan dengan berita baik untuk kami tentang keadaan Vika.
Cukup lama aku dan Ibu duduk dan terdiam disini. Rasanya aku cukup frustasi karena dokter tak kunjung keluar. Aku berdiri untuk meregangkan otot-otot persendianku agar sedikit rileks. Kemudian kami dikejutkan oleh bunyi pintu ruang ICU yang sedang dibuka.
"Dokter... Bagaimana anak saya?", Ibu segera bangkit dari tempat duduknya dan berlari ke arah dokter. Aku mengikutinya.
"Ada yang harus saya sampaikan mengenai keadaan Ny. Arvika Pak, Bu...", kata dokter dengan mimik serius sambil menatap kami berdua bergantian.
"Silakan ikut saya ke ruang sebelah...", lanjut dokter lagi.
Tanpa menjawab, Ibu dan aku pun berjalan mengikuti dokter.
"Begini Bu... Pak... Ny. Vika sudah melewati masa-masa kritisnya...", ucap dokter. Aku dan Ibu menghela nafas lega.
"Alhamdillaaah...", ucap Ibu. Aku tersenyum dan senang sekali tentunya.
"Tetapi...", ucapan dokter terputus. Membuat raut wajahku dan Ibu berubah seketika.
"Tetapi kenapa Dok?", tanyaku.
"Ini yang akan saya jelaskan pada kalian...", jawab dokter sambil mengambil beberapa hasil rontgent dan CT Scan dari laci mejanya dan menaruhnya di depan lampu khusus untuk membacanya. Aku dan Ibu terus terdiam dan pasrah menunggu penjelasan dokter.
"Begini Bu, Pak... Operasi mata Ny. Vika memang sesuai harapan kita, dia akan bisa melihat lagi, bahkan segera setelah dia sadar nanti. Namun ada hal yang membuat kami risau. Ada saraf-saraf dalam otaknya yang kemungkinan akan terkena dampaknya. Tapi kami belum bisa memastikan dampak paling besar yang akan berpengaruh terhadap Ny. Vika. Bisa saja ada gangguan keseimbangannya, bisa juga alat geraknya, bisa juga yang lain... Semua itu nanti bisa di atasi tapi butuh proses dan waktu yang lumayan lama. Jadi kami minta keluarga untuk siap dengan apapun yang nanti akan terjadi pada Ny. Vika, dan kami mohon sekali dukungannya untuk kesembuhan Ny. Vika. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhannya...", jelas dokter panjang lebar membuat kami berdua terkesiap. Ibu bahkan sudah menitikkan airmata.
"Tt-tapi Dok... Kira-kira kapan Vika akan sadar dok?", tanyaku terbata-bata.
"Hari ini Ny. Vika sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Kesadarannya akan segera pulih, namun semuanya masih harus dipantau ekstra." kata dokter.
Aku mengangguk mengerti. Ibu masih terisak-isak. Kemudian kami pamit keluar dan menunggu tindakan selanjutnya, yaitu menanti perawat yang akan memindahkan Vika ke ruang operasi.
Sudah dua hari aku tak melihat wajahnya. Mendengar suara tawa renyahnya, dan menikmati indah senyumannya. Ya Tuhan! Aku sudah mulai merindukannya. Ingin sekali aku bisa melihatnya.
Namun hati kecilku segera menyadari bahwa semua ini harus segera ku akhiri. Setelah Vika sadar dan bisa melihat lagi, aku sudah memutuskan untuk segera pergi dari hadapannya. Aku akan kembali ke Aussie. Aku akan menghilang dari hidupnya. Ya, inilah yang terbaik. Vika tak perlu mengetahui semua ini. Biarlah dia hidup bahagia tanpa terusik kenangan masa lalu kami berdua.
Pintu ruang ICU terbuka, terlihat beberapa perawat mendorong bed dan nampak Vika sedang tertidur pulas di atasnya. Dia tidak terlihat pucat seperti yang ku bayangkan. Wajahnya berseri-seri. Beberapa selang yang kemarin terpasang sudah dilepas. Aku lega sekali melihatnya. Sepertinya dia benar-benar sudah sembuh. Dugaan dokter tadi itu sepertinya tidak akan terbukti sama sekali saat aku melihat keadaanya saat ini. Aku lega. Itu berarti aku akan bisa meninggalkannya dengan lebih tenang tanpa rasa khawatir yang berlebihan.
Aku dan Ibu mengikuti para perawat yang mengantar Vika menuju ruangannya. Mungkin setelah mengantar Vika sampai ke ruangan nanti, aku akan langsung bertolak menuju bandara. Akan ku anggap ini sebagai perpisahanku dengannya. Walau itu benar-benar membuat hatiku sangat terluka.
Sesampainya kami di ruangan, Ibu segera memberesi barang-barang Vika. Sedangkan aku hanya berdiri di samping ranjang Vika dan tertegun memandangi wajahnya.
"Bu... Setelah ini, saya mau pamit... Saya akan balik lagi ke Aussie... Jangan ceritakan yg sebenarnya tentang saya ya Bu... Biarlah Vika bahagia tanpa terusik masalalunya", kataku lirih pada Ibu.
Ibu berjalan mendekatiku. Dia memegang pundakku dan memelukku. Mata Ibu berkaca-kaca menatapku.
"Terimakasih untuk semuanya Alan... Ibu akan selalu mendoakanmu, semoga kau mendapatkan banyak kebahagiaan di sana...", kata Ibu lirih sambil memelukku erat.
"Ss-saya.. Saya pamit dulu Bu... Semoga Vika segera sadar dan sembuh seperti semula ya Bu...", kataku sambil melepaskan pelukan Ibu.
Kemudian aku berbalik menatap Vika lagi. Aku raih tangannya. Mungkin ini adalah terakhir kali aku bisa menyentuh tangannya. Aku tidak bisa berkata apapun untuk berpamitan padanya. Lidahku serasa kelu untuk berbicara dengannya. Setelah menatapnya cukup lama, ku lepaskan genggaman tanganku. Ku letakkan tangannya di atas ranjang lagi. Lalu aku berjalan meninggalkannya.
"Alan...", ku dengar sebuah suara memanggilku ketika aku memegang gagang pintu. Kuurungkan niatku untuk membukanya dan aku menoleh ke belakang.
"Alan... Kamu mau kemana?".
Deggg!!!
Itu suara Vika!!!
Vika sudah sadar! Vika telah melihatku! Dan dia memanggilku. Dia memanggilku Alan??? Kenapa dia memanggilku Alan? Bukan Bagas? Dan kenapa nada panggilannya terdengar lembut? Bukannya marah?
Beribu pertanyaan berkecamuk dalam dadaku. Aku hanya bisa berdiri mematung. Begitu juga dengan Ibu.
"Alan... Sayang... Sini cepetan..."
Ya Tuhan!!! Apa aku sudah gila?
Apa benar apa yang kudengar barusan? 'Sayang'??? Apa yang sebenarnya terjadi pada Vika?
Aku menatap Ibu, Ibu juga menatapku. Kami berdua sama-sama saling menatap dengan penuh tanda tanya.
Ya Tuhan!!! What happen with her?
***
TBCHaiii...
Maaf baru update... Hehehe...
Agak pendek nih part ini, cuma POV nya Bagas/Alan doang, semoga suka ya...
Kasih vote 50 donk, baru nanti aku kasih lanjutannya, hihi...
Jangan lupa follow, karena nanti akan ada part yg saya private, hanya bisa dilihat kalo sudah follow saya, ckikikikkk...Ditunggu vomment nya ya guys!
Thankyou
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong [jangan] Ceraikan Aku
RomantikKisah perjalanan seorang wanita di tengah segala pahit dan getirnya cobaan hidup. Vika, perempuan muda yang menemukan cinta sejatinya pada Abi, sosok laki-laki idamannya selama ini. Mencintainya berarti dia siap dengan segala pengorbanan. Menghadapi...