Airmata pertama...

3K 112 1
                                    

Sabtu pagi yang cerah. Aku bangun terbangun dengan perasaan yang sangat ceria. Itu karena semalam tadi Mas Abi menelponku mengatakan bahwa siang nanti dia akan datang ke rumah. Kebetulan juga karena hari ini aku masuk kerja shift malam. Jadi pagi ini rencana aku akan menemani Ibu masak makanan yang spesial untuk tamu yang benar-benar spesial siang nanti.

Semalam Ibu sudah kuberitahu perihal Mas Abi. Dari raut wajahnya kulihat Ibu memberikan lampu hijau untuk hubungan kami. Kata Ibu, ia senang melihat anak satu-satunya ini kembali membuka hati untuk seorang laki-laki. Ya, Ibu adalah satu-satunya orang yang sangat mengertiku, mengerti kehidupanku. Suka duka kami lewati berdua semenjak Ayah pergi meninggalkan dunia fana. Dari Ibu aku banyak belajar tentang ketegaran. Ibu juga selalu ada kapanpun saat ku butuhkan. Meski waktu Ibu kadang tak banyak untukku karena usaha catering kecil-kecilan kami kadang menyita waktu dan tenaganya. Tetapi Ibu tak pernah lupa tentang waktunya denganku. Bahkan saat aku bahagia ataupun tersakiti karena cinta.

Ibu senang mendengar ada seorang laki-laki yang berniat serius terhadapku. Mungkin karena setelah bertahun-tahun aku sama sekali tidak pernah membicarakan tentang kisah asmaraku. Tepatnya tiga tajun setelah pengkhianatan yang dilakukan Alan, mantan kekasihku dulu. Hingga berkali-kali aku menolak beberapa teman laki-laki yang berusaha mendekatiku.

"Kamu beneran suka sama Abi?", tanya Ibu memecah keheningan. "Kamu sudah pernah kenal sama keluarganya?", lanjut Ibu. Aku menghela nafas panjang. Yang terlintas di pikiranku adalah raut wajah Tante Rani, mamanya Mas Abi saat pertama bertemu denganku di depan lift klinik kemarin.
"Vika... Kok diem aja? Kamu mikirin apa sih?", tanya Ibu membuyarkan lamunanku.
"Hehehe... Vika nggak mikir apa-apa kok Bu...", jawabku. Ibu memegang pundakku dan berkata kepadaku, "Kalau Ibu sih terserah kamu, karena kamu yang menjalani. Tapi inget satu hal. Bahwa jika mau serius sreg sama laki-laki, semua juga harus sreg. Entak itu keluarga kita, atau keluarga dia...". Aku terdiam, pikiranku makin tak karuan. Kata-kata Ibu barusan benar-benar membuat ingatanku semakin jelas akan sikap dan perkataan Tante Rani kemarin. "Udah... Mandi sana. Udah jam 10 lho, Abi kesini jam 11 kan?", tanya Ibu membuatku tersentak kaget. Ku cium pipi Ibu kemudian aku beranjak dari ruang makan menuju kamar mandi.

"Bu... Abi berniat serius sama Vika. Gimana kira-kira Bu? Ibu merestui kami?", tanya Mas Abi setelah selesai makan siang. Aku menatap Mas Abi kemudian Mas Abi meraih tanganku di atas meja. Digenggamnya tanganku dengan erat. Lalu kami menatap Ibu bersamaan.
"Ibu hanya ingin kebahagiaan Vika. Dia satu-satunya kepunyaan Ibu Nak... Ibu merestui kalian. Bahagiakan dia...", jawab Ibu dengan mata berkaca-kaca. Mas Abi bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri Ibu. Dia menyalami dan menciumi tangan Ibu.
"Inshaallah Bu, aku akan serius bahagiain Vika. Terimakasih ya Bu...", kata Mas Abi terbata-bata. Sungguh pemandangan yang mengharukan. Belum pernah aku melihat seorang laki-laki seserius ini terhadapku dan amat menghargai Ibuku. Aku menghampiri mereka kemudian kami bertiga berpelukan. Sungguh siang ini sesuai dengan yang ku harapkan.
"Besok pagi pulang jaga aku jemput kamu ya Vik, aku anter pulang habis itu kita rumahku. Aku mau ngenalin kamu sama keluargaku.", kata Mas Abi sambil menatapku. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa takut sekali. Berdebar sekali dada ini. Aku menatap Ibu minta persetujuan. Ibu membalas tatapanku dengan senyuman dan anggukan pelan. Aku bergantian menatap Mas Abi dan berkata,
"Iya Mas...". Mas Abi tersenyum. Binar matanya terlihat sangat bahagia.

                             ***
Aku duduk di depan cermin. Ku poles wajahku dengan bedak dan kusapukan tipis diwajahku. Ku ambil juga lipstick berwarna peach dan kuoleskan tipis di bibirku. Wajahku terlihat lebih segar setelah semalaman begadang dinas malam. Ku sisir rambutku dan ku sematkan jepit rambut kecil bermotif bunga dengan warna senada dengan rok panjangku. Lalu kurapikan kemeja putihku dan aku berputar di depan cermin. Aku tersenyum. Meski sebenarnya jantung ini berdebar tak karuan. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan kuhadapi beberapa menit setelah ini. Aku melamun sesaat.

Tolong [jangan] Ceraikan AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang