Abi POV
Hiruk pikuk suasana UGD rumah sakit seakan menjadikanku tambah kalut. Sesekali aku melihat para perawat yang sedang serius menangani Papah. Tak tega rasanya melihat Papah berbaring tak berdaya sedang banyak sekali alat yang terpasang di tubuhnya. Tak satupun perawat yang bisa menjelaskan keadaan Papah. Mereka hanya menyuruhku bersabar dan terus berdoa untuknya.
Mbak Fitri sangat gelisah dan matanya terlihat sembab. Entah sudah berapa kali ia bertanya padaku, apakah ia harus menelepon Vika atau tidak. Tetapi aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
Mungkin dia sudah sampai Bandung. Mengingat sosoknya dengan perut yang sudah besar, tak tega rasanya menyuruh dia kembali kesini lagi hari ini.
Aku?
Tak tega?
Hei Abi! Bukankah kemarin kamu yang menyuruhnya pergi? Lagipula, dia pasti sudah cukup jelas dengan menyaksikan adeganmu dan Karin pagi tadi.Batinku bergejolak.
"Mbak Fitri, tetap disamping Papah ya, kepalaku pusing, aku mau duduk bentar di ruang tunggu. Nanti kalo ada apa-apa panggil aku ya.", ujarku pada Mbak Fitri.
Mbak Fitri hanya mengangguk.
Aku menuju ruang tunggu dan duduk bersandar di kursinya. Kupegang kepalaku sambil kupijit-pijit pelan. Helaan nafas panjangku menandakan bahwa aku benar-benar sedang kalut tiada tara. Aku mengambil ponsel berniat untuk menelepon Mamah. Namun tak ada jawaban. Begitu pula dengan Mbak Ajeng. Hasilnya sama. Akhirnya aku mengirim pesan pada Mamah dan Mbak Ajeng untuk segera ke rumah sakit. Barangkali Papah bisa sedikit baikan dengan adanya mereka.
Aku kembali menghela nafas panjang. Tenggelam dalam lamunan.
"Tolong... Pak tolong pak... Panggilkan suster...", suara itu menyadarkan lamunanku.
Sepertinya suara itu tidak asing di telingaku. Aku segera menoleh ke arah sumber suara yang tidak terlalu jauh dan hanya terhalang papan pengumuman saja.
Aku terkejut melihatnya. Aku menajamkan mataku untuk memastikan pemandangan apa yang tertangkap di kedua mataku.
"Bajingan!!! Bangsat!!!", aku mengumpat pelan namun penuh dengan emosi.
Badanku bergetar. Darahku memuncak ke ubun-ubun. Seakan tak percaya dengan apa yang ada didepan mataku.
Oh lihat! Kedua manusia itu benar-benar terlihat seperti pasangan suami istri bahagia yang sebentar lagi akan menimang seorang anak.
Bagas dan Vika.
Bangsat!!!! Umpatku berulang-ulang.
Pemandangan itu begitu jelas kusaksikan. Bagas memapah Vika bahkan membopongnya.
Apa-apaan ini?
Rasa belas kasihan yang baru saja melintas dalam otakku, lenyap seketika. Kukira dia sudah sampai Bandung. Ternyata mereka memang benar-benar disini berdua. Mungkin mereka sudah tinggal bersama.
Bangsat. Aku tertipu lagi oleh kedua manusia itu. Vika bilang itu anak kami. Bullshit! Penipu! Katanya dia mencintaiku. Ahh... Apa yang kulihat saat ini membuktikan bahwa semua itu palsu.
Aku benar-benar marah dan mengutuk mereka berdua. Nafasku sampai tersengal-sengal menahan emosi.
"Mas, bapak mau dipindah ke ICU, Mbak Karin sudah datang, dia sedang mengurus administrasi. Mas Abi disuruh menyusul.", emosiku tertahan karena mendadak Mbak Fitri sudah ada di belakangku.
Aku tersadar dari emosi dan segera meninggalkan tempat menuju ruang administrasi menyusul Karin bersama Mbak Fitri.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong [jangan] Ceraikan Aku
RomanceKisah perjalanan seorang wanita di tengah segala pahit dan getirnya cobaan hidup. Vika, perempuan muda yang menemukan cinta sejatinya pada Abi, sosok laki-laki idamannya selama ini. Mencintainya berarti dia siap dengan segala pengorbanan. Menghadapi...