Tersiksa Masa Lalu...

2.1K 109 14
                                    

Vika POV

Jantungku berdegup kencang saat perawat mulai memanggil namaku untuk bersiap ke ruang operasi. Aku duduk di kursi roda dan didorong oleh perawat. Ibu dan Bagas menyemangatiku dan berusaha menenangkanku. Mungkin seperempat jam lagi giliranku masuk ke ruang penuh pertaruhan nyawa itu.

"Bu... Vika takut...", ucapku lirih sambil memegangi tangan Ibu.

"Bismillah... Optimis ya Nduk...", Ibu mengusap lembut rambutku.

"Bagas tadi kemana Bu?", tanyaku.

"Lagi angkat telpon kayaknya...", ucapan Ibu terpotong saat Bagas datang dan berkata padaku,

"Vik... Telpon dari Abi... Nih, dia mau ngomong sama kamu...", kata Bagas sambil memegangkan ponsel di telapak tanganku. Tanpa menunggu lama aku langsung mendekatkan ponsel Bagas di telinga.

"Hallo Mas...", sapaku.
"Hai Sayang... Kok nggak semangat gitu suaranya?"
"Emmm... Vika takut...."
"Heiii... Apa yang kamu takutin? Ayo optimis, semangat, Mas bantu doa dari sini..."
"Andai aja Mas ada di sini... Genggaman tangan Mas pasti bisa meredakan rasa takutku Mas..."
"Sayaaaang... Jangan gitu donk... Mas kan disini juga berdoaaa terus buat kamu Yank... Semangat yah... Jangan takut apapun yang belum terjadi... Ok?"

Aku menghela nafas panjang.

"Lhoo kok gitu lagi? Pengen ikut berlayar nggak? Nanti kita bulan madu lagi di atas laut... Nggak pengen???", godanya.

Aku tersenyum kali ini.

"Iya deh iya... Mas... Aku kangen Mas...", celetukku.

"Apalagi Mas, Sayang... Kangeeeeeen banget..."
"Gomballl"

Aku tertawa cekikikan.

"I love you Honey..."
"I love you too..."

Telepon ku tutup, ku dekap ponsel di dadaku dengan senyum yang mengembang. Sepertinya rasa takut dan cemas yang sedari tadi memenuhi otakku, sekarang berubah menjadi sebuah kekuatan dan semangat untukku.

"Mau berapa lama handphone ku kamu peluk Vik?", tanya Bagas mengagetkanku

"Ya Ampun... Maaf... Maaf Gas... Terbawa suasana... Hahahaha....".

Segera ku sodorkan ponsel ini padanya dengan rasa malu.

"Gimana? Udah nggak cemas lagi kan? Mukamu tadi pucet banget lho, sekarang jadi merah merona...", goda Bagas.

"Hahaha Bagas... Kamu bisa aja... Jelas donk... Suara Mas Abi tuh kayak charger, bisa bikin batereku full lagi, kayak sekarang...", kataku bercanda dengan wajah yang berseri-seri.

"Nah... Gitu donk... Jangan cemberut aja. Senyum gitu kan cantik...", goda Bagas lagi.

"Udah... Udah... Bagas... Jangan godain Vika terus... Bisa-bisa nanti kamu naksir sama dia, inget, dia itu istri sepupumu lho...", Ibu ikut menimpali candaan kami. Aku tertawa terpingkal-pingkal kali ini.

"Hahahaha... Jewer aja tuh Bu si Bagas...", kataki di sela-sela tawaku.

"Nyonya Arvika Amelya Abimanyu...".

Deggg!

Hatiku berdesir saat perawat ruang bedah membuka pintu dan memanggil namaku.

"Ya Dok...", jawab kami bertiga bersamaan.

"Anda suaminya?", tanya salah satu dokter.

"Bu--bukan Dok...", jawab Bagas gugup. Aku hanya tersenyum geli, membayangkan ekspresinya saat ini.

"Oh maaf, saya butuh satu orang anggota keluarganya untuk menandatangani surat persetujuan operasi yang merupakan salah satu prosedur dari tindakan kami...", jelas Dokter.

Tolong [jangan] Ceraikan AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang