Firasat

2.3K 140 28
                                    

Vika POV

Aku berjalan agak cepat menyusul Erra yang sudah berlari terlebih dahulu didepanku. Dalam hati aku bertanya-tanya. Apa benar yang Erra lihat tadi Mas Abi?

Kalau memang benar, berarti dia memang sudah tak ingin bertemu denganku lagi.

Dan untuk apa sekarang aku mengejarnya?

Sebesar inikah perasaanku ini padanya?

Langkahku terhenti ketika melihat sebuah mobil yang tak asing dimataku, sedang terparkir di depanku. Erra berdiri tepat disampingnya. Dari jauh aku memperhatikan mobil itu dengan seksama. Ingatanku cukup baik tentang mobil itu.

Itu mobil Mas Abi.

Perlahan aku mendekati Erra. Sesekali kulirik seseorang berkacamata hitam dan bertopi merah dibalik kemudi mobil tersebut. Aku tersenyum dalam hati.

Kau kira topi dan kacamatamu itu mampu membutakanku dari keberadaanmu Mas? Tanyaku dalam hati. Sehina itukah aku dimatamu hingga kau tak sudi menatapku?

Kutepuk bahu Erra yang sedang terengah-engah sehabis berlari tadi.

"Udah lah Ra... Mungkin kamu salah liat...", kataku, sengaja kukeraskan agar yang didalam mobil sana mendengar.

"Nggak mungkin salah liat Vik... Mas Abi bener-bener ada di belakangmu tadi... Tapi dia... Ah..."

"Kalopun tadi memang dia disana, lalu pergi, karena ada kita, ya sudah, itu berarti dia memang nggak mau ketemu kita, emm...lebih tepatnya nggak mau ketemu sama aku. Nggak sudi mungkin...", kataku sambil melirik mobil berkaca gelap itu. Kulihat dia tampak membuang muka.

"Brengsek banget sih tuh cowok..."

"Jangan mengumpat tentang dia di depan anaknya Ra... Dia nggak seperti yang kamu pikirkan, dia itu lembut, hanya saja kelembutan itu sekarang tertutup dengan kecemburuannya. Biar waktu yang mengembalikannya kepadaku, kepada anak kami...", kataku sambil berbalik membelakangi mobil itu. Namun kurasa suaraku cukup keras untuk terdengar olehnya, laki-laki berkacamata hitam didalam sana.

"Yaudah... Ayo kuantar kamu ke rumah sakit... Mungkin kalian akan ketemu disana", Erra merangkulku kemudian kami berjalan meninggalkan tempat parkir menuju cafe untuk mengambil billing.

Aku sempat menoleh sejenak ke arah parkiran mobil tadi. Ada perasaan sedih dan kecewa menyeruak di dalam dada. Lalu aku menghela nafas berat. Sebelum akhirnya mobil itu benar-benar tak terlihat.

"Aku butuh istirahat dulu Ra... Baru mungkin nanti sore aku akan ke rumah sakit. Aku bisa berangkat sendiri pakai taksi...", kataku sambil memijit kepalaku yang sedikit pusing. Mungkin kelelahan. Atau karena peristiwa barusan.

"Kamu nggak pa-pa kan Vik? Atau kita ke dokter dulu?", Erra memapahku khawatir.

"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan Ra... Tenang aja... Aku butuh tidur sejenak... Kamu antar aku ke kosan mu aja, baru kamu berangkat kerja..."

"Kamu ini nggak berubah... Keras kepala...", katanya sambil mencubit pipiku.

Aku tertawa sambil menggelayut di pundaknya.

"Yaudah... Ayo kita pulang...", ajak Erra.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

***

"Mbak Vikaaa....", teriak Mbak Fitri haru sambil berlari ke arah pintu menyambutku.

Mbak Fitri menangis dalam dekapanku. Aku membalas pelukannya untuk meredakan isakan haru Mbak Fitri.

"Sudah sebesar ini Mbak? Bapak pasti seneng tau cucunya akan segera lahir...", kata Mbak Fitri di sela-sela isakannya sambil mengelus perutku.

Aku hanya tersenyum saja.

Tolong [jangan] Ceraikan AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang