Meet "her"

1.9K 92 8
                                    

Abi

Klik. Klik. Klik. Klik.

Bunyi suara tutup korek api eletrik ditanganku ini terdengar berkali-kali. Aku memang sengaja memainkannya untuk mengusir segala pikiran yang berkecamuk ini.

"Sudah milih menu untuk dipesan sekarang Pak?", tanya waitress membuyarkan lamunanku.

"Air mineral saja.", jawabku singkat.

"Hanya itu?", tanyanya heran.

Aku hanya menatap tegas waitress itu menandakan bahwa tak ada lagi yang perlu ditanyakan. Waitress itu kemudian menundukkan wajahnya, mengerti maksudku, lalu pergi.

Mungkin dia heran karena pesananku hanya itu. Padahal biasanya aku bisa memesan berbotol-botol minuman beralkohol dalam semalam.

Entahlah... Aku sedang tidak berselera malam ini. Mungkin karena proses revalidasi ijazah yang sangat rumit sehingga menyita pikiranku akhir-akhir. Belum lagi kondisi Papah yang semakin hari semakin menurun. Mamah dan Kakakku yang semakin hari semakin nggak karuan sikap serta tingkahnya. Aku benar-benar berada dalam masa yang sulit saat ini.

Dan mungkin karena kehadirannya kembali di rumahku.

Otakku memutar kembali serenteran kejadian tadi sore di rumah.

Sebentuk wajah diselimuti rasa lelah itu tertidur pulas di kursi mobil hingga tak menyadari belaian tanganku menyusuri setiap guratan pipinya. Rautnya pucat, kantung matanya terlihat.

Vika.

Apa saja yang telah kau lalui setengah tahun ini Sayang? Tanyaku dalam batin.

Aku memandanginya lagi dari atas ke bawah. Perut buncitnya yang tadi hanya bisa kulihat di cafe itu, kini bisa ku sentuh.

Sial!

Sekelebat bayangan adegan brengsek itu kembali muncul dalam otakku. "Dia bukan anakmu Abi! Dia bukan anakmu. Dia bukan anakmu!!!".

Entah itu malaikat atau setan yang berteriak di telingaku. Aku menghembuskan nafas kasar.

"Apa perlu saya bantu Den?", tanya Pak Gito yang masih duduk di belakang kemudi.

Aku hanya memberi isyarat untuk diam dengan menempelkan jari telunjuk di bibirku agar Vika tak terbangun. Apa yang akan kulakukan jika dia terbangun? Pikirku.

Lalu apa maksud Papah menyuruhku menggendong dia ke kamar? Melihat dia berada di rumah ini lagi rasanya seperti menguliti dagingku sendiri. Membuka luka lama. Dan itu sakit sekali. Sakit bukan main.

"Mas Abi, Bapak nyuruh Mas mindahin Mbak Vika sekarang, diluar dingin banget soalnya... Kasian Mbak Vika...", kata Mbak Fitri sedikit berteriak dari pintu garasi.

Aku hanya mengangguk.

Dengan sangat hati-hati, kuangkat kepalanya, ku telusuri kakinya, dan kuangkat tubuhnya sekuat tenaga.

Semoga dia tidak terjaga, pintaku dalam batin.

Dan benar, dia tetap tertidur pulas.

Aku akan membawanya ke kamar kami.

Kami?

Ah... Sejak kapan aku menganggap kamarku itu kamar kami lagi?

Aku menggelengkan kepala menyingkirkan segala pikiran yang tidak-tidak itu dan mulai menaiki tangga menuju lantai dua.

Dan disitulah, secara reflek, entah disengaja atau tidak, dengan mata masih terpejam, tangannya meraihku. Kedua tangannya merangkul leherku seolah takut terjatuh.

Tolong [jangan] Ceraikan AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang