Haruskah ku melepasmu...

2.6K 103 14
                                    

Seminggu telah berlalu sejak hari bahagia itu. Sehari setelah kami menikah, Mas Abi mengajakku berlibur ke sebuah villa di dekat pantai. Seperti impianku dulu, bulan madu bersama suara deburan ombak yang selama ini hanya ku dengar dari ceritanya saja.

Selama seminggu ini, Mas Abi begitu sabar merawatku, menjagaku dan melayaniku layaknya seorang ratu. Benar-benar kutemukan suami yang sempurna pada sosoknya. Lelaki yang gagah, tegas, tetapi begitu lembut terhadapku. Sungguh betapa beruntungnya diriku.

Hari ini liburan kami telah usai. Kami akan pulang ke rumah. Ke rumah Mas Abi tentunya. Dua minggu lagi masa cuti Mas Abi sudah habis. Dia sudah harus mulai mempersiapkan keberangkatannya lagi. Dia akan pergi berlayar, bekerja untuk memulai kehidupan baru bersamaku.

Dan seminggu lagi aku akan menjalani operasi. Aku sudah tak sabar menantikannya. Harapanku saat nanti operasinya berhasil hanyalah bisa melihat sosoknya lagi, bisa menatap matanya lagi, dan bisa melayani dia sepenuhnya sebagai seorang istri. Meski itu hanya sekejap sebelum kami terpisah dalam jangka waktu yang tak bisa ditentukan.

Kepulangan kami ke rumah untuk yang pertama kalinya ini menimbulkan keraguan dalam hatiku. Entahlah... Aku bisa membayangkan bagaimana kehidupan baru ku di sana bersama orang-orang baru, terutama Mamah dan Mbak Ajeng. Orang-orang yang masih belum bisa menerimaku seutuhnya. Sering sekali aku melamunkan hal ini di sela-sela waktu bahagiaku bersama Mas Abi.

"Kamu lagi mikirin apa sih Yank...", tanya Mas Abi setiap kali aku terlihat melamun.

"Nggak ada Mas...", begitulah jawaban yang bisa kukatakan padanya.

"Kamu tenang aja... Pasti mikirin Mamah kan?", sepertinya Mas Abi mulai mengerti kekhawatiranku.

"Apa aku bisa ya Mas? Tinggal sama Mamah dan Mbak Ajeng?", tanyaku.

"Selama aku ada di samping kamu, nggak ada yang perlu kamu takutkan Sayang...", Mas Abi menenangkanku.

Berkali-kali dia menggenggam tanganku sepanjang perjalanan kami setiap aku terlihat gelisah. Lalu kusandarkan kepalaku di bahunya. Rasanya sangat nyaman berada di dekatnya. Seakan kegelisahan dan kegalauanku pudar jika aku sedang memeluknya. Tak butuh waktu lama aku terlelap di bahunya. Bersama deru suara mobil yang membawa kami semakin dekat dengan tujuan.

                                ***

"Vika... Sayang... Bangun... Kita udah sampai...", Mas Abi berbisik membangunkanku. Aku sedikit terkejut. Kemudian aku berbenah diri dan siap untuk turun dari mobil. Ah... Sudah sampai ternyata, batinku. Mas Abi membukakan pintu dan membantuku keluar dari mobil.

"Selamat datang di rumah ya Nak...", sapa papa mertuaku yang ternyata sudah berdiri di ujung pintu untuk menyambut kedatangan kami.

"Assalamualaikum P-pah...", sapaku agak gugup. Kuulurkan tanganku dan papa mertuaku pun menyambutnya.

"Waalaikumsalam... Ayo masuk... Mbak Fitri akan mengantarmu istirahat di kamar. Biar Abi membawa turun barang-barang kalian dulu... Papah mau berangkat ngantor", kata Papa.

"Terimakasih Pah...", ucapku.

"Jangan sungkan, ini rumahmu...", ujar Papa lagi.

Kemudian Mbak Fitri, wanita berusia beberapa tahun di atasku, asisten rumah tangga disini, menuntun tanganku dan mengajakku masuk menuju kamarku.

"Mbak Vika... Kalo Mbak butuh apa-apa, Mbak bisa panggil saya ya, panggil saja dari atas sini, saya pasti denger... Jangan turun tangga sendirian ya Mbak...", pesan Mbak Fitri sembari mengenalkan ruangan-ruangan yang ada dalam ruangan ini.

"Terimakasih banyak Mbak Fitri... Tetapi tenang aja, saya sudah terbiasa sendiri. Pekerjaan Mbak kan juga banyak, jangan sampai saya bikin berat pekerjaan Mbak...", kataku sambil menepuk bahunya.

Tolong [jangan] Ceraikan AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang