Akhirnya sampai juga di rumah Gilang lagi. Mereka bertiga langsung masuk. Abel dan Gilang kembali duduk di ruang tamu. Sedangkan Gio, dia langsung meluncur menuju kamarnya. Katanya rindu. Memang Gio sedikit aneh, tapi kecerdasannya mengalahkan keanehannya. Gio mendapatkan hadiah beasiswa bersekolah ke Singapura sampai SMA nanti. Bahkan jika Gio mau, dia bisa berkuliah di luar negeri juga.
Gilang melepaskan jaketnya dan melemparnya di sofa. Terlihat sekali wajah Gilang yang kelelahan. Abel pun langsung menarik tisu yang terpasang di tempatnya. Disekanya keringat Gilang yang bercucuran. Gilang sontak saja terkejut karena merasakan sentuhan di dahinya. Awalnya ia menutup matanya, karena terkejut langsung saja matanya terbelalak. Senyumnya pun mengembang indah.
"Makasih ya", ujar Gilang dengan penuh ketulusan diiringi senyuman. Tanpa disadari, pipi Abel memerah. Ia tidak tau lagi cara menutupi ekspresinya, yang ia yakin sudah tidak berbentuk seperti perasaannya saat ini. Iya ini berlebihan, tapi benar-benar terjadi kepada Abel. Detak jantungnya pun sudah mulai tidak beraturan. Kencang sekali.
"Ehm!", sahut Bibi Imah sambil nyengir. Bibi Imah terlihat membawa nampan yang di atasnya terdapat minuman dingin yang tampaknya menggairahkan.
"Aduh cocwit banget sih dek Gilang sama eneng cantik ini", kata bibi Imah yang setiap katanya penuh pengahayatan. Rupanya bibi Imah baper. Diletakkannya minuman itu di atas meja."Ayo diminum dek. Bibi ke belakang dulu ya", pamit bibi Imah yang sepertinya akan melanjutkan pekerjaannya. Abel mengangguk sambil tersenyum malu.
"Maafin bi Imah ya bel, emang orangnya suka gitu", kata Gilang yang merasa tidak enak dengan Abel. Abel tertawa sambil menggaruk tengkuknya.
"gapapa kok, lagian lucu juga ya bi Imah", jawab Abel yang meyakinkan Gilang kalau ia tidak merasa keberatan dengan tingkah bibi Imah tadi."Udah lo minum aja! Keliatannya lo haus", kata Gilang sambil menyalakan AC-nya yang ternyata mati. Pantas saja gerah. Abel pun meraih gelas yang mengeluarkan embun karena di dalamnya dingin. Itu adalah lemon tea buatan bibi Imah yang kelihatannya sangat menyegarkan. Dan benar saja, itu sangat membuat puas tenggorokan Abel. Melihat ekspresi Abel yang puas dengan minuman itu, Gilang tersenyum. Merasa agak canggung karena Gilang menatapnya, Abel memutuskan untuk membuyarkan tatapan Gilang.
"Gio itu pinter ya?", tanya Abel dengan penuh kecanggungan. Gilang tertawa kecil. Sambil melanjutkan menuliskan lagunya, Gilang menjawab.
"Emang sih dia pinter. Gue kadang suka iri sama dia", jawab Gilang yang tidak sadar kalau dia baru saja curhat. Abel menautkan alisnya membentuk garis."Bukannya harusnya lo itu bangga ya?", tanya Abel.
"Iya gue bangga. Pake banget malah. Tapi kadang, gue ngerasa semua orang lebih memuja-muja Gio. Dan gue pikir itu berlebihan", jawab Gilang datar. Dia tidak ingin menunjukkan wajah kecewanya di depan Abel. Maka dari itu, ia tetap melanjutkan kegiatannya menulis lagu. Abel tau dan paham perasaan Gilang saat ini. Ia pun berusaha menghibur Gilang dan sedikit bercerita tentang keadaan yang menimpanya sampai saat ini.
"Lo wajib bersyukur lang! Lo masih punya keluarga lengkap. Apalagi ada adik lo yang bisa buat lo bangga. Liat gue, mama gue meninggal pas gue masih kecil bahkan belum remaja. Saat itu juga papa gue ninggalin gue sama kak Epin. Gue tinggal sama nenek gue. Tapi, ga lama setelah itu nenek gue meninggal. Dan bukannya balik, papa gue malah ngilang ga ada kabar dan ga pernah kembali sampe sekarang.", tak terasa air mata Abel mengalir dipipi mulusnya. Gilang yang tak sampai hati melihat Abel menangis, mengusap air mata gadis itu dengan kedua ibu jarinya. Gilang meletakkan kepala Abel ke pundaknya sambil mengelus-elus rambut Abel. Ia berusaha menenangkan Abel sebisa mungkin.
"Iya gue pasti bersyukur. Makasih ya bel lo udah ingetin gue. Jangan nangis lagi, gue ga suka. Bukan cuma lo yang nangis, hati gue juga ikut nangis kalo liat lo nangis. Jangan nangis ya? Gue tau lo kuat", kata Gilang berusaha menenangkan suasana hati Abel. Abel menegakkan tubuhnya. Ia mengusap air matanya yang masih terjatuh lagi. Abel merasa malu karena telah menangis di depan Gilang. Alhasil, ia menunduk sambil terus mengusap matanya. Gilang tersenyum melihat tingkah Abel yang menggemaskan. Seperti anak kecil yang malu karena menahan tangisnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hospital (Completed)
Teen FictionMungkin pertemuan ini sangat sederhana. Namun, siapa sangka lada akhirnya kedua insan ini harus terjerat perasaan yang keduanya tidak bisa bayangkan.