Pagi ini seperti biasa, semua harus menjalani rutinitas dihiruk-pikuk kerasnya kehidupan kota metropolitan. Begitu juga dengan Abel, hari ini dia sudah siap dengan seragam putih abu-abunya. Dirinya juga telah menyelesaikan sarapannya bersama dengan Kelvin dan sang papa.
"Pa, Abel sama kakak berangkat ya", pamit Abel sambil mencium tangan papanya. Papa Abel mengangguk sambil mengulas senyum tulusnya.
Lalu, Kelvin menghampiri Abel. Kelvin memang di luar sedari tadi, namun Abel tidak tahu apa yang dilakukan kakaknya itu.
"Ditungguin tuh", kata Kelvin membuat dahi Abel berkerut.
"Siapa?", tanya Abel polos. Kelvin tidak mau menjawabnya. Dirinya hanya menyuruh Abel melihatnya sendiri.
Abel masih berjalan dengan sejuta rasa penasaran yang menyerbu. Ia pun perlahan keluar dan ia melihat cowok yang sedang duduk dikursi terasnya.
"Ayo berangkat bel, entar telat lho", ucapnya. Abel tersentak kaget."Ngapain di sini? Kalo mau berangkat, buruan sana! Gue bisa berangkat sama kak Epin", tolak Abel. Pasti Abel masih kesal melihat kejadian semalam. Benar, tidak mudah untuk melupakan sesuatu yang terlalu menyakitkan.
"Tapi, tadi kakak lo ngasih ijin gue buat anter lo kok", Abel makin kesal dengan pernyataan Gilang barusan. Ia semakin terkejut ketika Gilang menarik tangannya.
"Udah ayo berangkat sama gue", katanya.Tidak ada pilihan lagi. Jika Abel terus berdebat dengan Gilang sekarang, ia akan terlambat. Lebih baik mengesampingkan gengsi terlebih dahulu.
"Pegangan ya", pinta Gilang sambil memakai helmnya.
"Ogah", ketus Abel setelah memekaia helmnya.
"Terserah deh. Kalo gue kenceng jantung lo jangan copot ya", sepertinya ucalan Gilang seperti menantang nyali Abel. Tapi, Abel tidak menyerah. Ia masih kukuh tidak ingin menuruti kata-kata Gilang.
Lalu tibalah saatnya Gilang memulai aksinya. Ia menjalankan motornya dengan kecepatan yang luar biasa gila. Abel berteriak kencang dalam hati. Ia sudah mengumpati Gilang dalam hati. Gilang tidak juga menurunkan kecelatannya. Hingga terpaksa Abel menepuk keras punggung Gilang agar cowok itu memelankan laju motornya. Akhirnya Gilang memberhentikan motornya.
"Ih Gilang! Gila ya lo?!", teriak Abel tidak karuan suaranya membuat Gilang bergidik ngeri.
"Kenapa takut? Salah sendiri ga pegangan", jawab Gilang yang nadanya seperti meremhkan. Abel memanyunkan bibirnya kesal membuat Gilang gemas sendiri.
"Jangan cemberut. Gemes gue jadinya", goda Gilang yang sebenarnya itu dari hati tanpa embel-embel gombal.
"Jangan pikir dengan lo ngomong kaya gitu gue jadi maafin lo. Ga bakal", ujar Abel dengan memberikan tatapan tajamnya.
"Udahlah itu dibahas entar aja", Gilang kembali menjalankan motornya menuju sekolah. Abel merutuki dirinya yang berbohong soal tadi. Tentu saja Abel akan memaafkan Gilang. Tapi, dia butuh waktu untuk menenangkan pikirannya sejenak. Dengan cara menjauhi pikiran itu sendiri. Pikiran Abel adalah Gilang. Abel bersikap seperti itu karena dirinya ingin menyelasaikan masalah dengan kepala dingin agar pikirannya jernih dan mendapatkan keputusan terbaik.
***
"Makasih", dan Gilang hanya menjawabnya dengan anggukan. Abel langsung berjalan cepat agar Gilang tidak menyusulnya.
"Abel!", panggil Gilang sehingga Abel harus memberhentikan langkahnya.
"Helmnya mau lo pake masuk?", Abel langsung meraba benda itu. Ternyata benar, helmnya masih tersangkut di kepala Abel. Sungguh memalukan. Terpaksa Abel kembali menghampiri Gilang dan memberikan helm itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hospital (Completed)
Teen FictionMungkin pertemuan ini sangat sederhana. Namun, siapa sangka lada akhirnya kedua insan ini harus terjerat perasaan yang keduanya tidak bisa bayangkan.