Sudah saatnya pulang sekolah. Saatnya untuk mengantar Abel pulang pula. Gilang kini sedang berjalan menuju kelas pacarnya itu. Dengan hati yang masih berbunga ia mantapkan langkahnya. Dan tiba-tiba saja terhenti karena seorang gadis yang menghalanginya.
"Wait bro!", kata gadis itu. Gilang mengangkat kedua alisnya.
"Anter gue pulang, yah?", tambahnya. Tania meminta Gilang untuk mengantarnya lagi. Gilang mendengus."Sorry banget tan, gue udah janji nganter seseorang. Lo mau gue pesenin taksi?", jawab Gilang. Raut wajah Tania berbubah. Ia bingung, baru kali ini Gilang menolak permintaannya.
Tania sedih, tapi ia juga penasaran siapa orang yang membuat Gilang menolak permintaannya.
"Em.. biar gue tebak. Pasti lo mau anter.. cewek, ya?", tebak Tania dengan seringaian usil.
Gilang tiba-tiba saja gugup karena Tania tidak berhenti menggodanya.
"Apaan sih lo tan, sok tau. Gue pesenin taksi aja, gimana?", Gilang mengulangi tawarannya yang disambut senyuman paksa oleh Tania.
"Makasih lang, gue bisa pesen sendiri kok. Btw lo belum jawab gue", suara Tania gemetaran matanya juga berkaca kaca. Tapi, Gilang tidak menyadari itu. Ia masih dimabuk cinta.
"Pertanyaan yang mana? nganter cewek, pertanyaan itu?", tanya Gilang. Tania mengangguk lemas, namun wajah cerianya tidak hilang meski palsu.
"Jawabannya, iya. Gue duluan ya tan. Kalo ada apa-apa telpon gue, oke?", jawab Gilang.
Tania tidak bisa apa-apa selain mengangguk dan tersenyum. Ia harus tegar, meski bingung karena apa.
Gilang kembali melangkah menuju kelas Abel. Tania membalikkan tubuhnya melihat punggung Gilang. Entah kenapa sepertinya tubuhnya telah dikendalikan hatinya. Kini ia berlari dan memeluk Gilang dari belakang sambil menumpahkan air matanya. Anehnya, Tania sendiri tidak mengerti mengapa ia menangis. Sedangkan Gilang, bingung harus berbuat apa sekarang. Hangat dan nyaman, itu yang Tania rasakan.
"Tan? Are you okay?", Gilang masih sangat kebingungan. Tania semakin mengeratkan pelukannya, ia memejamkan matanya perlahan.
"Lang, gue takut", ujar Tania. Gilang semakin bingung sekarang.
"Apa yang lo takutin sih, tan? Masih belum cukup ada gue?", jawab Gilang. Tania menarik napasnya dan menghebuskannya.
"Justru lo yang buat gue takut, lang", kata Tania. Sudah tak bisa dipungkiri lagi, kebingungan Gilang amat mendalam.
"Lo ngomong apaan sih, tan? Lepasin dulu ini, terus cerita ke gue apa masalah lo sebenernya", ucap Gilang dengan nada naik satu oktaf.
Tania melepas pelukannya. Lalu, mengusap air matanya. Gilang membalikkan tubuhnya dan memegang bahu Tania sambil menatap manik mata gadis itu lekat-lekat.
"Sekarang, lo cerita sama gue. Lo takut karena gue, itu maksudnya apa?", tanya Gilang lagi. Air mata Tania kembali tumpah. Rasanya dadanya sesak untuk sekedar menjawab pertanyaan Gilang saja jadi tak sanggup.
"Ah lupain aja itu. Oiya jangan ngebuat cewek itu nunggu lama. Sana gih buruan jemput dia!", ucap Tania sambil tertawa kecil disela-sela air mata yang menetes.
"Jangan nangis lagi, tan. Gue paling ga bisa liat lo nangis", kata Gilang sambil mengusap air mata Tania dengan kedua ibu jarinya.
Tania mengangguk paham sambil tersenyum getir. Gilang juga ikut tersenyum sambil mengacak lembut rambut Tania.
"Yaudah gue duluan ya, tan.", pamit Gilang sambil tersenyum manis.
Perasaan apa ini yang telah menguasai hati Tania. Perasaan egois apa ini. Perasaan licik apa ini. Apa Tania sudah mulai tidak ingin tergantikan oleh Gilang?. Tidak. Tidak boleh. Tania dan Gilang adalah sahabat. Sahabat harus saling mendukung. Tapi, kenapa sikap dan perasaan Tania bukan seperti itu.
Sampai juga Gilang di depan kelas Abel. Ditengoknya ke seluruh penjuru kelas. Ternyata gadis yang dicari Gilang tidsk ada. Kebetulan ada beberapa anak yang sedang piket. Akhirnya Gilang bertanya kepada salah satu dari mereka.
"Eh, lo liat Abel nggak?", tanya Gilang.
"Oh Abel? Dia barusan aja keluar dari kelas. Kayaknya ke arah parkiran motor tuh", jawab anak itu. Gilang pun berterima kasih dan berlari menuju parkiran motor.
Benar, disana terdapat Abel sedang berdiri di dekat motor Gilang. Sontak saja Gilang tersenyum seraya berjalan menuju Abel.
"Udah lama nunggunya?", tanya Gilang membuat Abel menolehkan kepalanya.
"Enggak kok, masih barusan. Lo bilang mau jemput gue di kelas, tapi lo ga dateng ke kelas gue", jawab Abel membuat senyum Gilang lagi-lagi harus mengembang.
"Maaf ya sayang, tadi gue ada urusan bentar", ucap Gilang sambil mengacak lembut rambut Abel. Abel pun mengernyit geli.
"Jijik ih, lang!", timpal Abel. Gilang tertawa melihat tingkah pacarnya yang seperti anak kecil ini. Lucu dan sangat menggemaskan sekali.
Mereka berdua pun pergi meninggalkan sekolah menuju rumah masing-masing.
Sampai juga Abel di huniannya. Tempat dimana rasa nyaman itu ada dan akan terus ada. Tempat dimana sebuah kisah dimulai.
Abel melangkahkan kakinya dan tiba-tiba saja terhebnti karena panggilan seorang lelaki paruh baya.
"Kenapa pa?", sahut Abel.
"Duduk! Papa mau ngomong sama kamu", perintah papa Abel. Gadis itu menurut saja apa yang diperintahkan papanya. Posisi duduk Abel pun berhadapan dengan papanya.
"Papa mau ngomong apa?", tanya Abel yang sudah tak sabar ingin beristirahat. Papa Abel menarik nafasnya terlebih dahulu lalu menghembuskannya.
"Besok kita makan malem bareng di luar. Pulang sekolah langsung siap-siap. Papa udah beliin dress buat kamu.", jawab papa. Abel berpikir keras. Memang ada apa harus makan malam di luar.
"Emang ada acara apa sih, pa?", tanya Abel untuk memuaskan rasa ingin taunya.
Entah penglihatan Abel salah atau tidak, namun papanya terlihat ragu. Tak lama kemudian bibirnya mengulas senyum. Abel lega sekarang, mungkin saja papanya sedang bahagia.
"Kamu bisa tau sendiri besok. Udah sana mandi bau nih badan kamu", canda papa Abel seraya menutup hidungnya. Tentu saja itu bercanda.
"Ah papa jahat ih!", kata Abel lalu berlari menuju kamarnya.
Papa Abel tersenyum melihat tingkah putrinya itu. Namun, kenapa mata lelaki itu juga berkaca-kaca. Disana terlihat seperti ada perasaan bersalah yang amat dalam. Namun, Abel tidak mengetahuinya.
Setelah mandi, Abel berniat mencoba dress dari papanya itu. Diraihnya gaun cantik yang tergantung dipegangan almarinya. Dress berwarna pink itu terlihat sangat cantik dan modis. Desainnya tidaj terlalu rumit, alias simple. Cocok sekali dengan Abel. Dirinya pun mencoba gaun itu dan mengamati bayangannya di cermin. Sangat cantik. Perpaduan antara dirinya dan gaun itu. Abel sudah tidak sabar mengenakan itu besok.
Abel sibuk bercermin sampai ia baru menyadari kalau ponselnya berdering sedari tadi. Dilihatnya, ternyata panggilan dari Gilang. Abel mengerutkan keningnya sejenak.
"Halo? Kenapa lang?", tanya Abel.
"Bagus banget ya chat gue ga dibales", nada Gilang terdengar seperti protes.Abel tertawa kencang mendengar rengekan Gilang.
"Uuu.. pacar gue ngambek. Bentar ya 5 menit lagi gue bales", ujar Abel.
"Harus banget ya lima menit? Kenapa ga sekarang aja sih bel!", lagi-lagi Gilang protes.Abel mendengus sebal.
"Lo mau gue bales ga sih?! Banyak protes amat! Pokoknya tunggu, titik.", amuk Abel membuat Gilang terdiam disana.
"Oke gue matiin ya, lang", imbuh Abel membuat Gilang bergumam "hmm".Tuutt...
Panggilan terputus.
![](https://img.wattpad.com/cover/95421672-288-k664705.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hospital (Completed)
JugendliteraturMungkin pertemuan ini sangat sederhana. Namun, siapa sangka lada akhirnya kedua insan ini harus terjerat perasaan yang keduanya tidak bisa bayangkan.